"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Selasa, 09 Oktober 2012

Korupsi, Organisme yang Bermutasi


Kasus demi kasus bermunculan tapi sebagian lenyap tanpa kesan karena keburu disusul oleh kasus lainnya yang tak kalah kolosal. Itu semua tertayang bagai sinetron berseri yang silih berganti dengan cerita dan pemeran yang berbeda. Berita, sorotan dan penahanan seakan menjadi klip-klip iklan. Kadang berita korupsi menarik perhatian publik, bukan karena kasusnya, tapi karena pelakunya adalah cantik atau punya gaya dandanan rambut, atau pelakunya terobsesi dengan silikon. Bisa dipastikan, rating acara komedi lebih tinggi dari berita dan diskusi soal korupsi.


Korupsi diambil dari perkataan Latin: corruptio yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyuap. Corruptio sendiri berasal dari kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.

Secara hukum atau teori humaniora, sebagaimana didefiniskan oleh Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tak wajar dan ilegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam khazanah agama, korupsi yang secara etimologis berarti “kerusakan” atau tindakan merusak, disebut dengan kata “fasad” (damage, kerusakan) dan “ifsad” (destruction, perusakan), Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. al-Syu'ara': 181-183).

Dalam banyak teks ayat al-Quran, pelakunya disebut “mufsid” (perusak). Kata ini biasanya disandingkan dengan predikat bersignifikansi struktural global “fil-ardh” (di atas muka bumi) Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Hud: 85). kadang pula penyebutan “mufsid” (perusak) dengan signifikansi struktural nasional “fiha” (dalam negeri), “Dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak). Yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.” (QS. al-Fajr: 10-12).

Secara filosofis-teologis, semua perbuatan kontra kebaikan dan kesempurnaan dianggap sebagai kezaliman. Kata zalim berasal dari bahasa Arab, dengan huruf “dha la ma” (ظ ل م ) yang secara primer berarti gelap. Kezaliman didefinisikan sebagai ‘tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya’.

Secara filosofis pula, korupsi adalah ketidakjujuran dalam pikiran, perasaan dan tindakan (fisikal). Dengan pengertian eksistensial ini, pikiran jahat, pendapat ngawur, manipulasi data dan sebagainya adalah korupsi. Pembatasan pengertian korupsi hanya pada modus kejahatan tertentu dan oleh pelaku tertentu, pun bisa dikategorikan sebagai “korupsi intelektual”.

Secara umum, subjek kezaliman tak lain adalah (jiwa) manusia yang berakal. Sedangkan sasarannya dua; diri sendiri dan selain diri. Kezaliman terhadap diri sendiri (al-zhulm al-zati) meliputi semua perbuatan dosa yang tidak melibatkan pihak lain selain si pelaku. Setiap perbuatan dosa adalah kezaliman terhadap diri sendiri. Ia dianggap zalim terhadap diri sendiri karena memaksa dirinya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani dan karakteristik jiwanya yang diciptakan selalu condong pada kebaikan dan kemuliaan. Itulah sebabnya kita selalu dianjurkan untuk confess “Wahai Tuhan kami! Kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 23).

Kezaliman pada diri ini bisa berupa kezaliman yang sifatnya fisik, seperti mengkonsumsi bahan berbahaya seperti narkoba dan minuman keras, tidak memperhatikan kesehatan tubuh dan tidak memberi cukup asupan nutrisi dan vitamin yang diberikan oleh tubuh. Dan bisa juga bersifat moral, seperti mengzalimi diri dengan merawat sifat-sifat buruk yang merusak seperti kesombongan, kikir, hasud, iri-dengki, malas, pesimis, negative thinking, dan seterusnya.

Kezaliman objektif (al-zhulm al-khariji) adalah tidak meletakkan perbuatan (terhadap selain dirinya) pada tempatnya . Ia dapat dibagi dua; objektif vertikal dan objektif horisontal. Kezaliman vertikal adalah tidak meletakkan hak Allah pada tempatnya. Yaitu, hak Allah untuk disembah, ditaati, dan diagungkan. Karena itu semua perbuatan dosa yang dilakukan manusia adalah bentuk kezaliman kepada Allah, karena tidak meletakkan Allah pada tempat-Nya. Dalam teks agama, maksiat (membangkang, durhaka) adalah kata yang mencakup kezaliman hamba terhadap Tuhannya.


Korupsi dalam Anatomi Kezaliman Struktural
Kezaliman terhadap pihak luar selain diri sendiri adalah kezaliman. Kezaliman terhadap sesama makhluk (kezaliman horisontal) bisa dilakukan terhadap alam selain manusia, yang bisa dianggap sebagai kezaliman ekologis (terhadap mineral, tumbuh-tumbuhan hewan) dan juga kezaliman horisontal terhadap manusia (crime, kezaliman insani).

Kezaliman manusia terhadap sesama manusia tidak langsung, atau kezaliman yang terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu dengan korban yang lebih dari satu dianggap sebagai kezaliman publik atau kezaliman struktural. Ia bisa berupa sesuatu yang non-fisik , sosial, ekonomi, diskriminasi etnis, juga naratif. Inilah yang selama ini secara popular disebut “korupsi”

Kezaliman struktural dengan sasaran publik umumnya terjadi dalam sebuah institusi (lembaga) karena memiliki posisi di dalamnya. Posisi dalam lembaga meliputi pejabat, pemodal, ulama dan posisi-posisi yang berkaitan dengan banyak orang yang umumnya menaruh respek dan bahkan mematuhinya. Kezaliman-kezaliman strukrutal terjadi dalam institusi politik, ekonomi, ke-agama-an, kultural dan sebagainya. Salah satu dimensi kezaliman struktural yang paling berbahaya adalah kezaliman atas nama kelompok, aliran dan agama.

1. Kezaliman dalam Institusi Politik (Korupsi Politik). Salah satu kezaliman publik yang paling berbahaya adalah kezaliman dalam Institusi politik melalui penyalahgunaan wewenang karena pelaku menangguk keuntungan dari kedudukannya dalam suatu instansi politik. Secara singkat, korupsi dalam institusi politik biasanya dilakukan demi memperoleh kekuasaan atau mempertahankan dan memperkuat jabatan.

2. Kezaliman dalam Institusi Ekonomi (Korupsi Ekonomi). Salah satu jenis kezaliman struktural adalah penyalahgunaan kuasa untuk mengambil keuntungan finansial secara tidak legal dan moral. Kezaliman ekonomi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang punya modal besar atau akses kekuasaan yang memudahkannya melakukan aksi jalan pintas demi menambah harta atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum negara, moral dan agama dengan menyuap, money politic, mark up dan sebagainya.

3. Kezaliman dalam Institusi Agama (Korupsi Moral). Salah satu bentuk kezaliman struktural yang paling keji adalah kezaliman atas nama kelompok dan agama. Kezaliman jenis ini adalah bentuk kezaliman yang dilakukan seseorang dengan mengatasnamakan kelompok atau agama tertentu sebagai pembenaran tindak kezalimannya, seperti menyebarkan pemikiran-pemikiran yang intoleran terhadap Muslim lain, menyebarkan fatwa dan anjuran memusuhi kelompok lain dengan stigma sesat dan sebagainya, hingga melakukan tindakan kekerasan atas nama agama dan aliran. Karena korupsi secara filosofis meliputi semua aksi destruktif, tidak hanya menilep uang Negara, mensesatkan orang yang berbeda aliran juga bisa dianggap korupsi intelektual. Pelakunya juga bisa dianggap koruptor karena menyalahgunakan jabatan keagamaan sebagai ulama, ustadz, dan mubalig. Di Iran, semua ulama harus bersertifikat demi menghindari maraknya ulama gadungan. Dan karena itu pula, ada pengadilan khusus ulama, semacam pengadilan militer di Indonesia.

Mungkin semua teori ilmu telah digunakan dan diterapkan untuk menyelamatkan sisa kekayaan bangsa ini dari korupsi, namun tak juga ampuh, karena telah menjadi “budaya” (meminjam istilah Prof. Husein Alatas), hingga membuat sebagian warga apatis atau kehilangan kepekaan terhadap kata “korupsi” yang telampau sering didengar.

Saking seringnya kata ini kita gunakan dan dengar, sampai-sampai mungkin sebagian dari kita mulai kehilangan kepekaan terhadapnya, dan dalam alam bawah sadar kita terlihat laksana fenomena biasa. Boleh jadi, karena itu pula, pejabat yang tidak korupsi dianggap “luar biasa”.

Kata “korupsi”, yang lebih “merakyat” sejak Reformasi”, menjadi semacam organisme cerdik yang bermutasi dengan penyesuaian dan adaptasi. Ia bukan lagi penyimpangan prilaku dan kejahatan yang bisa dibasmi dengan penegakan hukum dan penegakan kejujuran, tapi “diterima” sebagai realitas. Boleh jadi, berdirinya KPK mengafirmasi korupsi itu sendiri. Bukankah yang lebih berorientasi positif itu mendirikan Komisi Penegakan Kejujuran (Keadilan)?


Muhsin Labib
(www.sindoweekly-magz.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar