Berbeda
dengan masyarakat Indonesia,
masyarakat Iran
tidak melakoni tradisi pulang kampung, memakai baju baru, atau menyantap
hidangan khas dalam merayakan Idul Fitri. Saat kemenangan itu tiba, masyarakat Iran hanya
berkumpul di lapangan Imam Khomeini untuk melaksanakan salat Id dan saling
bersilaturahim.
Lebaran kali ini, Ali Pahlevani Rad, atase pers
dari Kedutaan Besar Iran
untuk Indonesia, memutuskan
untuk tidak pulang ke negerinya, Iran. Penyebabnya bukan dia
kehabisan tiket pesawat, namun karena tradisi di negerinya tidak mengenal
istilah mudik ke kampung halaman, tidak seperti di Indonesia. Ali mengatakan saat
Lebaran, atau masyarakat Iran
kerap menyebutnya dengan Idul Fitri, masyarakat Iran tidak mudik karena hari libur
yang ditetapkan hanya satu hari. Berbeda halnya dengan masyarakat Indonesia yang
bisa pulang kampung saat Lebaran karena mendapatkan kesempatan libur hingga
satu pekan.
Di Teheran, ibu kota negara tersebut, ketika hari kemenangan
itu tiba, masyarakat berkumpul di lapangan Imam Khomeini. Lapangan itu
merupakan lapangan terbesar di Iran
yang dijadikan pusat kebudayaan. Setelah salat subuh, masyarakat akan
berbondong-bondong menuju ke sana
untuk melaksanakan salat Id pada pukul 6 pagi, lebih awal dibanding dengan
pelaksanaan salat Id di Indonesia.
Setelah melaksanakan salat Id, masyarakat muslim Iran saling
bersalaman, namun bukan untuk bermaafan, melainkan sebagai ajang silaturahim.
Selain di lapangan Imam Khomeini, salat Id dilaksanakan di masjid-masjid di Iran.
Masyarakat Iran yang tinggal
di luar Teheran biasanya akan melaksanakan salat Id di pusat pertemuan
masyarakat, semacam balai rakyat di Indonesia. Hampir setiap desa di Iran memiliki
balai pertemuan.
Di luar Lebaran, balai pertemuan itu dijadikan
para ulama di Iran
untuk mengajarkan agama kepada masyarakat desa. "Pemerintah Iran mengutus ulama ke desa-desa untuk
mengajarkan agama kepada masyarakat di sana.
Jadi, setiap desa memunyai ulama yang dijadikan tempat untuk bertanya soal
agama oleh masyarakat sekitar," terang Ali.
Meski ada perbedaan tradisi mudik antara Iran dan Indonesia, kedua negara memiliki
persamaan dalam hal ajang silaturahim. Sama seperti di Indonesia, setelah salat
Id, masyarakat Iran biasanya saling berkunjung ke rumah kerabat, semisal anak
mengunjungi orang tua atau orang yang lebih muda mengunjungi sanak saudara yang
lebih tua. Sayangnya, dalam pertemuan silaturahim tersebut, tidak ada acara khusus
makan-makan. "Di Iran tidak ada makanan khas seperti di Indonesia,
seperti opor ayam atau ketupat," kata Ali.
Kalaupun ada makanan yang khas disajikan saat Idul
Fitri, lanjut Ali, umumnya hanya kue. Kue yang paling populer saat Ramadan dan
Lebaran di Iran adalah kue zulbiah bamieh. Kue itu rasanya manis seperti kurma
dan hanya dibuat saat bulan suci hingga Idul Fitri. Karena rasanya yang legit,
kue itu acap digunakan sebagai pengganti kurma ketika berbuka puasa.
Tradisi lainnya yang hampir sama dengan kebiasaan
masyarakat Indonesia
adalah membagi-bagikan uang Lebaran. Di Iran, selain anak-anak, kalangan yang
biasa diberi angpao ialah mereka yang masih berstatus lajang walaupun sudah
bekerja. Berbicara mengenai pembagian uang, perusahaan di Iran tidak memiliki
kewajiban memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada para pegawai. Pasalnya,
masyarakat Iran memang tidak
merayakan hari kemenangan itu secara besar-besaran, tidak seperti di Indonesia. Saat
Idul Fitri, masyarakat Iran
tidak memiliki "keharusan" membeli baju baru dan menyiapkan makanan
khusus, apalagi pulang kampung. THR murni diberikan karena kebaikan pemilik
perusahaan.
Di Iran, perayaan besar-besaran yang dilakukan
masyarakat adalah pada saat tahun baru Iran yang jatuh setiap pertengahan
Maret. Masyarakat di sana mengagungkan tahun
baru Iran dalam rangka
memperingati sejarah Iran.
Pada dua ribu tahun lampau, Iran
dilanda musim kemarau panjang. Hujan tidak kunjung turun hingga bertahun-tahun.
Sumber mata air kering, dan masyarakat amat tersiksa karenanya. "Rakyat
lalu memanjatkan doa, memohon agar segera diturunkan hujan. Tuhan yang Mahabaik
pun mengabulkan permohonan itu," ujar Ali.
Raja yang memimpin Iran
kala itu kemudian menetapkan hari pertama hujan turun sebagai tahun baru Iran atau
disebut pula nouruz. Sejak saat itu, setiap kali tahun baru Iran tiba, rakyat merayakannya sama seperti
masyarakat Indonesia
ketika merayakan Lebaran. Seluruh anggota keluarga "wajib" berkumpul
di rumah orang tua atau keluarga yang dituakan. Mereka pun mengenakan pakaian
dan sepatu serbabaru. Pada perayaan itu pula, makanan berlimpah.
"Kebiasaan open house juga hanya dilakukan para pejabat tinggi pemerintah
pada saat hari nouruz, bukan saat Idul Fitri," papar Ali.
Mirip Indonesia
Lain Iran, lain pula Malaysia. Menurut Mohamad Nizam
Raja Kamarulbahrin, atase pers dari Kedutaan Besar Malaysia,
tradisi Lebaran di Malaysia hampir sama dengan di Indonesia. Di negeri jiran itu,
sanak keluarga saling mengunjungi dan rumah penuh dengan makanan khas Lebaran.
Masyarakat Malaysia, kata Nizam, menyebut
Lebaran dengan Idul Fitri. Dalam menyambut hari kemenangan itu, para perempuan Malaysia berbaju kurung, sedangkan kaum Adam
memakai baju Melayu (semacam baju koko di Indonesia). Umat muslim Malaysia
melaksanakan salat Id di masjid-masjid dan lapangan sekitar pukul 8.30 pagi.
Setelah salat Ied, masyarakat merayakan Idul Fitri
dengan saling bersilaturahim dan tak ketinggalan makan-makan. Nizam mengatakan
makanan khas saat Lebaran adalah ketupat, lontong, dan rendang. Sedangkan untuk
kue-kue khas Lebaran di Malaysia, yakni kue semprit, kue batang buruk, dan kue
putu.
Negara Serumpun dengan Indonesia itu juga mengenal tradisi
mudik. Meski libur Idul Fitri di sana hanya dua
hari, masyarakat Malaysia
umumnya memanfaatkan jatah cuti mereka agar bisa lebih lama berkumpul dengan
sanak kerabat. "Karena banyak yang mudik, Malaysia juga macet loh ketika Hari
Raya," tutup Nizam.
(http://koran-jakarta.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar