"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Rabu, 22 Agustus 2012

Lain Negeri, Lain Pula Tradisi Lebarannya


Berbeda dengan masyarakat Indonesia, masyarakat Iran tidak melakoni tradisi pulang kampung, memakai baju baru, atau menyantap hidangan khas dalam merayakan Idul Fitri. Saat kemenangan itu tiba, masyarakat Iran hanya berkumpul di lapangan Imam Khomeini untuk melaksanakan salat Id dan saling bersilaturahim.


Lebaran kali ini, Ali Pahlevani Rad, atase pers dari Kedutaan Besar Iran untuk Indonesia, memutuskan untuk tidak pulang ke negerinya, Iran. Penyebabnya bukan dia kehabisan tiket pesawat, namun karena tradisi di negerinya tidak mengenal istilah mudik ke kampung halaman, tidak seperti di Indonesia. Ali mengatakan saat Lebaran, atau masyarakat Iran kerap menyebutnya dengan Idul Fitri, masyarakat Iran tidak mudik karena hari libur yang ditetapkan hanya satu hari. Berbeda halnya dengan masyarakat Indonesia yang bisa pulang kampung saat Lebaran karena mendapatkan kesempatan libur hingga satu pekan.


Di Teheran, ibu kota negara tersebut, ketika hari kemenangan itu tiba, masyarakat berkumpul di lapangan Imam Khomeini. Lapangan itu merupakan lapangan terbesar di Iran yang dijadikan pusat kebudayaan. Setelah salat subuh, masyarakat akan berbondong-bondong menuju ke sana untuk melaksanakan salat Id pada pukul 6 pagi, lebih awal dibanding dengan pelaksanaan salat Id di Indonesia.

Setelah melaksanakan salat Id, masyarakat muslim Iran saling bersalaman, namun bukan untuk bermaafan, melainkan sebagai ajang silaturahim. Selain di lapangan Imam Khomeini, salat Id dilaksanakan di masjid-masjid di Iran. Masyarakat Iran yang tinggal di luar Teheran biasanya akan melaksanakan salat Id di pusat pertemuan masyarakat, semacam balai rakyat di Indonesia. Hampir setiap desa di Iran memiliki balai pertemuan.

Di luar Lebaran, balai pertemuan itu dijadikan para ulama di Iran untuk mengajarkan agama kepada masyarakat desa. "Pemerintah Iran mengutus ulama ke desa-desa untuk mengajarkan agama kepada masyarakat di sana. Jadi, setiap desa memunyai ulama yang dijadikan tempat untuk bertanya soal agama oleh masyarakat sekitar," terang Ali.

Meski ada perbedaan tradisi mudik antara Iran dan Indonesia, kedua negara memiliki persamaan dalam hal ajang silaturahim. Sama seperti di Indonesia, setelah salat Id, masyarakat Iran biasanya saling berkunjung ke rumah kerabat, semisal anak mengunjungi orang tua atau orang yang lebih muda mengunjungi sanak saudara yang lebih tua. Sayangnya, dalam pertemuan silaturahim tersebut, tidak ada acara khusus makan-makan. "Di Iran tidak ada makanan khas seperti di Indonesia, seperti opor ayam atau ketupat," kata Ali.

Kalaupun ada makanan yang khas disajikan saat Idul Fitri, lanjut Ali, umumnya hanya kue. Kue yang paling populer saat Ramadan dan Lebaran di Iran adalah kue zulbiah bamieh. Kue itu rasanya manis seperti kurma dan hanya dibuat saat bulan suci hingga Idul Fitri. Karena rasanya yang legit, kue itu acap digunakan sebagai pengganti kurma ketika berbuka puasa.

Tradisi lainnya yang hampir sama dengan kebiasaan masyarakat Indonesia adalah membagi-bagikan uang Lebaran. Di Iran, selain anak-anak, kalangan yang biasa diberi angpao ialah mereka yang masih berstatus lajang walaupun sudah bekerja. Berbicara mengenai pembagian uang, perusahaan di Iran tidak memiliki kewajiban memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada para pegawai. Pasalnya, masyarakat Iran memang tidak merayakan hari kemenangan itu secara besar-besaran, tidak seperti di Indonesia. Saat Idul Fitri, masyarakat Iran tidak memiliki "keharusan" membeli baju baru dan menyiapkan makanan khusus, apalagi pulang kampung. THR murni diberikan karena kebaikan pemilik perusahaan.

Di Iran, perayaan besar-besaran yang dilakukan masyarakat adalah pada saat tahun baru Iran yang jatuh setiap pertengahan Maret. Masyarakat di sana mengagungkan tahun baru Iran dalam rangka memperingati sejarah Iran. Pada dua ribu tahun lampau, Iran dilanda musim kemarau panjang. Hujan tidak kunjung turun hingga bertahun-tahun. Sumber mata air kering, dan masyarakat amat tersiksa karenanya. "Rakyat lalu memanjatkan doa, memohon agar segera diturunkan hujan. Tuhan yang Mahabaik pun mengabulkan permohonan itu," ujar Ali.

Raja yang memimpin Iran kala itu kemudian menetapkan hari pertama hujan turun sebagai tahun baru Iran atau disebut pula nouruz. Sejak saat itu, setiap kali tahun baru Iran tiba, rakyat merayakannya sama seperti masyarakat Indonesia ketika merayakan Lebaran. Seluruh anggota keluarga "wajib" berkumpul di rumah orang tua atau keluarga yang dituakan. Mereka pun mengenakan pakaian dan sepatu serbabaru. Pada perayaan itu pula, makanan berlimpah. "Kebiasaan open house juga hanya dilakukan para pejabat tinggi pemerintah pada saat hari nouruz, bukan saat Idul Fitri," papar Ali.

Mirip Indonesia
Lain Iran, lain pula Malaysia. Menurut Mohamad Nizam Raja Kamarulbahrin, atase pers dari Kedutaan Besar Malaysia, tradisi Lebaran di Malaysia hampir sama dengan di Indonesia. Di negeri jiran itu, sanak keluarga saling mengunjungi dan rumah penuh dengan makanan khas Lebaran.

Masyarakat Malaysia, kata Nizam, menyebut Lebaran dengan Idul Fitri. Dalam menyambut hari kemenangan itu, para perempuan Malaysia berbaju kurung, sedangkan kaum Adam memakai baju Melayu (semacam baju koko di Indonesia). Umat muslim Malaysia melaksanakan salat Id di masjid-masjid dan lapangan sekitar pukul 8.30 pagi.

Setelah salat Ied, masyarakat merayakan Idul Fitri dengan saling bersilaturahim dan tak ketinggalan makan-makan. Nizam mengatakan makanan khas saat Lebaran adalah ketupat, lontong, dan rendang. Sedangkan untuk kue-kue khas Lebaran di Malaysia, yakni kue semprit, kue batang buruk, dan kue putu.

Negara Serumpun dengan Indonesia itu juga mengenal tradisi mudik. Meski libur Idul Fitri di sana hanya dua hari, masyarakat Malaysia umumnya memanfaatkan jatah cuti mereka agar bisa lebih lama berkumpul dengan sanak kerabat. "Karena banyak yang mudik, Malaysia juga macet loh ketika Hari Raya," tutup Nizam.

(http://koran-jakarta.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar