"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Kamis, 19 Juli 2012

MENGELAK SETAN, MERAIH KEBAHAGIAAN (I)

Puasa, dalam bahasa Arab disebut sebagai shaumShaum berarti “menahan” atau “mengendalikan”. Yakni menahan atau mengendalikan nafsu, sebagaimana seorang penunggang kuda mengendalikan kudanya.
Di sisi lain, puasa berarti belajar untuk meninngkatkan kemampuan kita menahan nafsu agar kita bisa memenangkan pertarungan kita melawan setan. Dan Bulan Ramadahan adalah waktu yang tepat untuk belajar mengendalikan nafsu karena:
“Di bulan Ramadhan setan-setan dirantai.” (Hadis Nabi)




Apakah Setan itu?
“Dan, sungguh, Kami telah menciptakan kamu (Adam), kemudian membentukmu, kemudian Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka pun bersujud kecualiiblis. (Ia (iblis) tidak termasuk mereka yang bersujud. (Maka Allah) berfirman: ‘Apa yang menghalangimu sehingga kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?’ ‘Aku lebih baik daripada dia. Kau ciptakan aku dari api, sedang dia kau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A'raf: 11-12)



Kata “setan”, dalam bahasa al-Qur’an “syaithan” (jamaknya, “shayathiin”) konon berasal dari bahasa  Ibrani,  yang  berarti  "lawan/musuh". Tapi, barangkali juga berasal dari  bahasa  Arab,  "syath-tha" yang  berarti  "tepi", dan "syatha" yang  berarti "hancur dan terbakar", atau "syathatha" yang berarti "melampaui batas". (Konon kata "devil"di dalam  bahasa  Inggris  terambil  dari  kata  "do" yang  berati melakukan, dan "evil" yang  berarti  kejahatan. Dengan  demikian, setan adalah "yang melakukan kejahatan". Sebagian berpendapat bahwa kata iblis berasal dari bahasa Yunani  “diabolos” –gabungan kata  "dia" yang berarti “ketika”, dan  "ballein" yang  berarti “melontar”- yang  mengandung arti memasukkan (permusuhan) kepada dua pihak untuk menghasut dan memecah belah –boleh jadi, antara diri (ruhani) kita dan diri (nafsani) kita. Dalam bahasa Arab, kata “iblis” diduga terambil dari akar kata "ablasa" yang berarti putus harapan, karena iblis telah putus harapannya masuk ke surga.


Setan -termasuk di dalamnya “iblis”, sejenis shaythan- adalah bagian dari kelompok makhluk Allah yang bernama“jinn” (jin). Pada gilirannya, kelompok jin adalah salah satu dari 3 kelompok makhluk  ciptaan Allah, selain malaikat dan manusia. Jika malaikat terbuat dari cahaya, maka jin terbuat dari api. Yakni cahaya yang terikat dengan tanah, mengingat api hanya mungkin bernyala dengan bahan bakar yang berasal dari tanah (baik minyak, batubara, kayu, korek api, dll). Jin, dengan demikian, seolah merupakan makhluk perantara. Dia seperti cahaya, tapi masih terikat dengan tanah.
Memang benar, manusia terbuat dari tanah –yakni, bagian yang membentuk fisik (wadag) manusia. Dan, kalau hanya dibuat dari tanah, maka setan telah benar ketika menyatakan bahwa dia –yang, meski terikat tanah, berbentuk cahaya– lebih mulia dari manusia. Tapi, yang dilupakan setan, manusia tak hanya terbuat dari tanah, melainkan dari cahaya. Ruhani manusia terbuat dari cahaya. Sebagai makhluk yang terbuat dari lempung/tanah, posisi manusia berada di bawah malaikat, kemudian juga di bawah setan. Tapi, dengan aspek ruhaninya, dia bukan hanya bisa menempati poisisi lebih tinggi dari setan,melainkan bahkan lebih dari malaikat. Kenapa? Karena malaikat sejak diciptakan tak pernah bisa naikatau turun posisi. Dia diciptakan Allah dalam posisi yang tetap.

“Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (tetap).“(QS. Ash-Shaaffat:164)

Memang malaikat menempati posisi yang tinggi, tapi pada saat yang sama, malaikat tak bisa naik atau turun dari posisinya, karena dia tak punya karsa/pilihan bebas (free will atau ikhtiyar).

Memang hanya manusia dan jin yang memiliki karsa/pilihan bebas. Keduanya bisa naik dan turun posisi, berdasar kebaikan atau keburukannya. Jika mengembangkan potensi ruhaninya, manusia (dan jin) dapat melawan kecenderungan tanahnya, dan terbang setinggi-tingginya berwahanakan bagian cahayanya. Dia bisa berada sedekat-dekatnya dengan Allah, bahkan menjadi manusia yang disebut sebagai manusiarabbani (manusia yang memiliki sifat Ketuhanan). Sebaliknya, jika ia lebih banyak menuruti nafsu badan (tanah)-nya, maka dia memang bisa lebih rendah dari setan, bahkan lebih rendah dari binatang, tumbuhan, atau batu sekalipun.

“Sesungguhnya kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Kemudian (karena ulahnya sendiri) kami perosotkan dia ke tingkat yang serendah-rendahnya.“ (QS. At-Tiin: 4-5)

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 74)

Tipuan Setan
“ ... aku pasti akan jadikan (keburukan) terasa indah (menyenangkan) bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr 39)
Memang taktik setan adalah menampilkan kenikmatan sesaat (pleasure) sebagai kebahagiaan (happiness), yang seharusnya lestari. Dengan kata lain, menggoda orang untuk mementingkan yang badani, ketimbang yang ruhani.

"Sesungguhnya setan itu musuh bagimu, maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya setan mengajak golongannya supaya masuk ke dalam sa’Ir menjadi penghuni neraka yang menjilat-jilat (menyengsarakan jiwa)” (QS. Faathir: 6)

Kenyataannya, di samping kepemilikan sisi ruhani yang sebenarnya merupakan esensinya, manusia diciptakan dengan memiliki nafsu (badani) –betapapun sesungguhnya sisi badani ini bukan esensi manusia. Problemnya, nafsu (badani) ini cenderung mendorong kita untuk memuasinya, secara berlebihan dan tanpa mengindahkan ajaran dan hukum-Nya. Nabi Saw bersabda:

“Nafsu manusia adalah seperti bayi yang disapih (terus meronta-ronta, minta dipenuhi)."

Memang, jka tidak dikendalikan oleh ruhani kita, nafsu akan terus minta dipuasi tanpa batas. Firman-Nya:

“ … Sungguh jiwa (nafsu) itu mendorong-dorong kepada keburukan ...” (QS. Yusuf: 53)

Setan Tak Pernah Lelah Menggoda Manusia

“Katakan (wahai Muhammad), aku berlindung kepada Tuhan (Pelindung)-nya Manusia. Penguasa-nya Manusia. Tuhan-Nya Manusia. Dari keburukan bisikan-bisikan jahat para pembisik yang terus-menerus berdatangan (khannas). Yang menciptakan kebimbangan di dada manusia. Baik para pembisik yang berasal dari kelompok jin (yakni, setan), maupun dari kelompok manusia.” (QS. An-Naas: 1-6)

Dapat dilihat bahwa sang penggoda disebut oleh Allah sebagai “khannas”. Yang dimaksud dengan kata ini adalah sesuatu yang tak pernah lelah -datang, pergi, dan terus kembali lagi. Dalam hal ini, penggoda manusia tak akan pernah lelah dan terus-menerus akan menggoda kita. Seperti hyena, setan selalu mengintai, menyerang, mundur, dan kembali lagi dalam upayanya menggoda manusia.

Nabi Saw menyatakan:
“Setan ikut mengalir dalam aliran darah kita.” Yakni, bersama makanan, setan masuk ke seluruh relung tubuh kita, semua organ tubuh kita, bahkan ke otak yang merupakan sumber kendali tubuh manusia.

Dalam kitab-Nya, Allah pun memfirmankan bahwa tak henti-hentinya ia mengepung manusia:

“ ... kemudian aku (setan) akan mendatangi mereka (manusia) dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (manusia) bersyukur (taat kepada Allah)." (QS. Al-A'raf: 17).
Dengan kerjasama antara nafsu yang tak terkendali dan setan ini maka lahirlah kejahatan-kejahatan manusia.

Mengelak Setan
Pada puncaknya, kejahatan-kejahatan yang kita lakukan akibat kegagalan mengendalikan nafsu ini bukan hanya akan memakan korban sosial –dalam bentuk pelanggaran dan kezaliman yang dapat lahir dari situ– melainkan juga kebahagiaan kita sendiri.

Karena, bukankah kebahagiaan bersifat lestari (abadi) menyangkut kenikmatan di masa sekarang dan di masa datang –baik masa datang di dunia ini, maupun di akhirat, sedangkan kenikmatan hanyalah saat ini dengan risiko kesengsaraan (misery) di masa yang akan datang? Sementara setan, dia akan selalu mengajak kita mengumbar nafsu demi pleasure sesaat saja. Dan setiap pengumbaran nafsu pasti memakan korban. Mengumbar nafsu berarti membunuh keseriusan, padahal pekerjaan-pekerjaan besar tak mungkin dilakukan tanpa keseriusan dan waktu yang cukup. Lebih dari itu, pleasure hanya berurusan dengan kepuasan-kepuasan badani, fenomenal (yang bisa hilang), seperti kekenyangan, kepuasan nafsu seksual, popularitas, kekuasaan, dan sebagainya. Bukan saja bersifat sementara dan cepat berlalu, semuanya itu tidak merasuk ke dalam hati kita. Padahal, tak ada kebahagiaan sejati kecuali di dalam hati atau batin. Dan, kenyataannya, kebahagiaan batin justru hanya bisa dicapai dengan melawan nafsu, termasuk di dalamnya mengasihi orang, berkorban untuk orang lain, dan sebagainya.

Sumber: Kolom Haidar Bagir
(mizan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar