Puasa, dalam bahasa Arab disebut sebagai shaum. Shaum berarti “menahan” atau “mengendalikan”. Yakni menahan atau mengendalikan nafsu, sebagaimana seorang penunggang kuda mengendalikan kudanya.
Di sisi lain, puasa berarti belajar untuk meninngkatkan kemampuan kita menahan nafsu agar kita bisa memenangkan pertarungan kita melawan setan. Dan Bulan Ramadahan adalah waktu yang tepat untuk belajar mengendalikan nafsu karena:
“Di bulan Ramadhan setan-setan dirantai.” (Hadis Nabi)
Apakah Setan itu?
“Dan, sungguh, Kami telah
menciptakan kamu (Adam), kemudian membentukmu, kemudian Kami berfirman kepada
para malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka pun bersujud kecualiiblis. (Ia (iblis) tidak termasuk mereka yang bersujud. (Maka Allah) berfirman: ‘Apa
yang menghalangimu sehingga kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku
menyuruhmu?’ ‘Aku lebih baik daripada dia. Kau ciptakan aku dari api, sedang
dia kau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A'raf: 11-12)
Kata “setan”, dalam bahasa
al-Qur’an “syaithan” (jamaknya, “shayathiin”) konon berasal dari bahasa Ibrani, yang berarti
"lawan/musuh". Tapi, barangkali juga berasal dari bahasa
Arab, "syath-tha" yang
berarti "tepi", dan "syatha" yang berarti "hancur
dan terbakar", atau "syathatha" yang berarti
"melampaui batas". (Konon kata "devil"di dalam
bahasa Inggris terambil dari kata "do" yang berati melakukan,
dan "evil" yang berarti kejahatan. Dengan
demikian, setan adalah "yang melakukan kejahatan". Sebagian berpendapat
bahwa kata iblis berasal dari bahasa Yunani “diabolos” –gabungan kata "dia" yang berarti “ketika”,
dan "ballein" yang berarti
“melontar”- yang mengandung arti memasukkan (permusuhan) kepada dua pihak
untuk menghasut dan memecah belah –boleh jadi, antara diri (ruhani) kita dan
diri (nafsani) kita. Dalam bahasa Arab, kata “iblis” diduga terambil dari akar
kata "ablasa" yang berarti putus harapan, karena
iblis telah putus harapannya masuk ke surga.
Setan -termasuk di dalamnya
“iblis”, sejenis shaythan- adalah bagian dari kelompok makhluk Allah yang bernama“jinn” (jin). Pada gilirannya,
kelompok jin adalah salah satu dari 3 kelompok makhluk ciptaan Allah,
selain malaikat dan manusia. Jika malaikat terbuat dari cahaya, maka jin
terbuat dari api. Yakni cahaya yang terikat dengan tanah, mengingat api hanya
mungkin bernyala dengan bahan bakar yang berasal dari tanah (baik minyak,
batubara, kayu, korek api, dll). Jin, dengan
demikian, seolah merupakan makhluk perantara. Dia seperti cahaya, tapi masih
terikat dengan tanah.
Memang benar, manusia terbuat
dari tanah –yakni, bagian yang membentuk fisik (wadag) manusia. Dan,
kalau hanya dibuat dari tanah, maka setan telah benar ketika menyatakan bahwa
dia –yang, meski terikat tanah, berbentuk cahaya– lebih mulia dari manusia.
Tapi, yang dilupakan setan, manusia tak hanya terbuat dari tanah, melainkan
dari cahaya. Ruhani manusia terbuat dari cahaya. Sebagai makhluk yang terbuat
dari lempung/tanah, posisi manusia berada di bawah malaikat, kemudian juga di
bawah setan. Tapi, dengan aspek ruhaninya, dia bukan hanya bisa menempati poisisi
lebih tinggi dari setan,melainkan bahkan lebih
dari malaikat. Kenapa? Karena malaikat sejak diciptakan tak pernah bisa
naikatau turun posisi. Dia diciptakan Allah dalam posisi yang tetap.
“Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan
yang tertentu (tetap).“(QS. Ash-Shaaffat:164)
Memang malaikat menempati posisi yang tinggi, tapi
pada saat yang sama, malaikat tak bisa naik atau turun dari posisinya, karena dia tak punya karsa/pilihan bebas (free
will atau ikhtiyar).
Memang hanya manusia dan jin yang memiliki karsa/pilihan bebas. Keduanya
bisa naik dan turun posisi, berdasar kebaikan atau keburukannya. Jika
mengembangkan potensi ruhaninya, manusia (dan jin) dapat melawan kecenderungan
tanahnya, dan terbang setinggi-tingginya berwahanakan bagian cahayanya. Dia
bisa berada sedekat-dekatnya dengan Allah, bahkan menjadi manusia yang disebut
sebagai manusiarabbani (manusia yang memiliki sifat Ketuhanan).
Sebaliknya, jika ia lebih banyak menuruti nafsu badan (tanah)-nya, maka dia memang
bisa lebih rendah dari setan, bahkan lebih rendah dari binatang, tumbuhan, atau
batu sekalipun.
“Sesungguhnya kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Kemudian
(karena ulahnya sendiri) kami perosotkan dia ke tingkat yang
serendah-rendahnya.“ (QS. At-Tiin: 4-5)
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras
lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai
dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air
dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut
kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 74)
Tipuan Setan
“ ... aku pasti akan
jadikan (keburukan) terasa indah (menyenangkan) bagi mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS.
Al-Hijr 39)
Memang taktik setan adalah
menampilkan kenikmatan sesaat (pleasure) sebagai kebahagiaan (happiness),
yang seharusnya lestari. Dengan kata lain, menggoda orang untuk mementingkan
yang badani, ketimbang yang ruhani.
"Sesungguhnya setan itu
musuh bagimu, maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya setan mengajak
golongannya supaya masuk ke dalam sa’Ir menjadi penghuni neraka yang
menjilat-jilat (menyengsarakan jiwa)” (QS. Faathir: 6)
Kenyataannya, di samping kepemilikan sisi ruhani yang sebenarnya
merupakan esensinya, manusia diciptakan dengan memiliki nafsu (badani)
–betapapun sesungguhnya sisi badani ini bukan esensi manusia. Problemnya, nafsu
(badani) ini cenderung mendorong kita untuk memuasinya, secara berlebihan dan
tanpa mengindahkan ajaran dan hukum-Nya. Nabi Saw bersabda:
“Nafsu manusia adalah seperti bayi yang disapih (terus meronta-ronta, minta
dipenuhi)."
Memang, jka tidak dikendalikan oleh ruhani kita, nafsu akan terus minta
dipuasi tanpa batas. Firman-Nya:
“ … Sungguh jiwa (nafsu)
itu mendorong-dorong kepada keburukan ...” (QS. Yusuf: 53)
Setan Tak Pernah Lelah Menggoda Manusia
“Katakan (wahai Muhammad), aku berlindung kepada Tuhan (Pelindung)-nya
Manusia. Penguasa-nya Manusia. Tuhan-Nya Manusia. Dari keburukan
bisikan-bisikan jahat para pembisik yang terus-menerus berdatangan (khannas).
Yang menciptakan kebimbangan di dada manusia. Baik para pembisik yang berasal
dari kelompok jin (yakni, setan), maupun dari kelompok manusia.” (QS. An-Naas: 1-6)
Dapat dilihat bahwa sang penggoda disebut oleh Allah sebagai “khannas”.
Yang dimaksud dengan kata ini adalah sesuatu yang tak pernah lelah -datang, pergi, dan terus kembali lagi. Dalam hal ini,
penggoda manusia tak akan pernah lelah dan terus-menerus akan menggoda kita.
Seperti hyena, setan selalu mengintai, menyerang, mundur, dan kembali lagi
dalam upayanya menggoda manusia.
Nabi Saw menyatakan:
“Setan ikut mengalir dalam
aliran darah kita.” Yakni, bersama makanan, setan masuk ke seluruh
relung tubuh kita, semua organ tubuh kita, bahkan ke otak yang merupakan
sumber kendali tubuh manusia.
Dalam kitab-Nya, Allah pun
memfirmankan bahwa tak henti-hentinya ia mengepung manusia:
“ ... kemudian aku (setan) akan mendatangi mereka (manusia) dari muka
dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak
akan mendapati kebanyakan mereka (manusia) bersyukur (taat kepada Allah)." (QS.
Al-A'raf:
17).
Dengan kerjasama antara nafsu
yang tak terkendali dan setan ini maka lahirlah kejahatan-kejahatan manusia.
Mengelak Setan
Pada puncaknya,
kejahatan-kejahatan yang kita lakukan akibat kegagalan mengendalikan nafsu ini
bukan hanya akan memakan korban sosial –dalam bentuk pelanggaran dan kezaliman
yang dapat lahir dari situ– melainkan juga kebahagiaan kita sendiri.
Karena, bukankah kebahagiaan bersifat lestari (abadi) menyangkut kenikmatan
di masa sekarang dan di masa datang –baik masa datang di dunia ini, maupun
di akhirat, sedangkan kenikmatan
hanyalah saat ini dengan risiko kesengsaraan (misery) di masa yang akan
datang? Sementara setan, dia akan
selalu mengajak kita mengumbar nafsu demi pleasure sesaat
saja. Dan setiap pengumbaran nafsu pasti memakan korban. Mengumbar nafsu berarti membunuh keseriusan, padahal pekerjaan-pekerjaan
besar tak mungkin dilakukan tanpa keseriusan dan waktu
yang cukup. Lebih dari itu, pleasure hanya berurusan dengan
kepuasan-kepuasan badani, fenomenal (yang bisa hilang), seperti kekenyangan,
kepuasan nafsu seksual, popularitas, kekuasaan, dan sebagainya. Bukan saja
bersifat sementara dan cepat berlalu, semuanya itu tidak merasuk ke dalam hati
kita. Padahal, tak ada kebahagiaan sejati kecuali di dalam hati atau batin.
Dan, kenyataannya, kebahagiaan batin justru hanya bisa dicapai dengan melawan
nafsu, termasuk di dalamnya mengasihi orang, berkorban untuk orang lain, dan
sebagainya.
Sumber: Kolom Haidar Bagir
(mizan.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar