"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Senin, 30 Juli 2012

Mengelak Setan, Meraih Kebahagiaan (2)


“Di bulan Ramadhan, syaithan dirantai” (Hadis)

Tapi kenapa manusia yang berpuasa masih juga cenderung berbuat dosa?

Pertama, penggoda manusia –khannas– bukan hanya syaithan, melainkan juga manusia. Maka, untuk menghindar dari dosa, tak bisa tidak, kita harus dapat menundukkan pasangan yang kerjasamanya dengan khannas akan menjadikan keburukan terlaksana. Itulah nafsu (al-nafs al-ammarah) yang ada didalam diri kita kita. Kita harus mengendalikannya. Tak ada jalan lain.

Kenyataannya, inilah makna berpuasa, atau shawm. Bukan hanya kita difasilitasi oleh Allah dalam bentuk dirantainya setan, sehingga menjadikan kekuatan musuh kita berkurang setidaknya separuhnya. Namun,pahala berbuat baik dilipatgandakan. Status orang puasa pun ditinggikan, hingga disediakan pintu khusus  di surga -bernama Al-Rayyan.

Namun, bagaimana caranya?
Sekali lagi, “Nafsu adalah seperti bayi yang disapih. Ia akan meronta-ronta jika tidak diberi apa yang diminta.”(Hadis)

Ke­kuatan nafs syaithâniyyah ini begitu hebat, se­hing­ga hanya orang-orang yang sangat wara‘ (berhati-hati untuk tidak me­lang­gar batas) sajalah yang akan bisa menghindar dari­nya.

Maka persoalannya, bagai­manakah cara menakluk­kan sumber segala keburukan dan kejahatan ini?

Setiap orang tua tahu tentang ba­gaimana sulitnya menyapih bayi dari air susu ibunya, setelah sang bayi menikmatinya selama jangka waktu tertentu, bahkan kadang hingga dua tahun. Apalagi me­­­nyusu kepada ibunya sesungguhnya sudah merupa­kan insting yang dimiliki si bayi sejak ia lahir ke dunia. Bayi yang sedang disapih seperti ini akan meronta-ronta, menangis selama bermalam-malam, hingga se­ringkali ia tak bisa tertidur selama itu. Diperlukan kesa­bar­an dan kekuatan-hati ekstra pada pihak orang tua, khususnya ibu, agar tidak lama-kelamaan kecapaian da­lam melawan pemberontakan bayinya atau jatuh iba sehingga akhirnya memberikan juga apa yang ia minta. Sebagian ibu bahkan menyusui anaknya hingga lebih dari dua tahun, atau setidaknya memberikan dot, kepada anaknya akibat 'kekalahan' itu. Demikianlah, untuk melawan nafsu bayi untuk terus menyusu ke­pada ibunya, tak ada jalan lain kecuali bertahan untuk tidak memberinya sama sekali. Dengan kata lain, hal itu tak bisa dicapai secara bertahap.

Demikian pula halnya dengan upaya kita melawan nafsu. Tak ada cara lain kecuali dengan tidak memberi­nya kesempatan untuk mendapatkan apa yang di­ingini­­nya. Itu sebabnya Islam mengajarkan agar kita me­na­han diri terhadap sesuatu justru di saat kita amat ingin memperoleh sesuatu itu. Islam mengajarkan agar di bulan Ramadhan kita berpuasa sebulan penuh. Tapi, pada saat yang sama kita diajar berbuka untuk sekadar memperkuat tubuh kita. Amat terkenal dalam hubung­an ini hadis Nabi Saww.  yang menyatakan: “Umatku tidak makan kecuali dalam keadaan lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang.” Bayangkan seseorang yang amat lapar, ia tentunya sangat ingin untuk melampias­kan keinginannya untuk memenuhi perutnya dengan makanan ketika kesempatan untuk itu tiba. Khususnya orang-orang yang sebelumnya telah berpuasa seha­rian. Tapi, justru di saat demikian, ia diminta berhenti makan sebelum kenyang.
Bukan hanya itu. Setelah Ra­madhan berakhir, dan Bulan Syawwal tiba, kaum Muslim masih diperintahkan untuk puasasunnah 6 hari, yang dianjurkan dilakukan segera setelah 1 Syawal.

Demikian pula dalam hal bersedekah. Islam mewa­jibkan agar kita menyedekahkan harta “yang (justru) dicintai” (‘alâ hubbihi ), dan bukan milik yang sudah tidak dipakai atau sudah dibosani.

Contoh yang lain lagi,kewajiban shalat subuh harus dilakukan sebelum fajar tiba, dengan rentang waktu yang amat pendek, padahal pada saat-saat seperti itu orang sedang enak-enaknya tidur. (Alasan inilah yang barangkali men­do­rong Khalifah Umar ibn Khaththab untuk menam­bah­kan kalimat “Shalat itu lebih baik daripada tidur -al-shalâtu khairum-minan-naum”). Lebih-lebih hal ini te­­­rasa dalam anjuran amat keras bagi kaum Mukmin untuk membiasakan shalat tahajud, di dua pertiga malam, atau  sepertiga malam terakhir, atau setidaknya dalam sedikit dari waktu malam. Al­hasil, banyak sekali contoh-contoh seperti ini dalam ajaran Islam. Kesemuanya mengarah kepada satu kesimpulan, yakni mengenai pentingnya sikap menahan diri dalam segala hal, dan keharusan mengonfrontasi langsung nafsu kita sebagai satu-satunya jalan untuk menaklukkkannya.

Kiranya ini juga makna konsep zuhud dalam tasa­wuf.
Kata zuhud berasal dari akar kata yang bermakna “menahan diri dari sesuatu yang hukum-asalnya se­be­narnya netral (mubâh), alias boleh-boleh saja.”
Sikap zuhud ini dipromosikan, dalam kaitannya dengan sikap wara‘ (kehati-hatian, seperti telah disinggung di atas), demi menghindarkan pelakunya dari berlebih-lebihan yang dilarang karena kekhawatiran orang tak bisa ber­henti di batas yang diperbolehkan.   

Sikap hati-hati seperti ini kiranya terkait dengan ke­nya­taan bahwa berperang melawan nafsu, dan meme­­nangkannya, adalah suatu pekerjaan yang amat sulit. “Jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu (jihâd al-nafs),” demikian suatu kali Nabi Saaw menegaskan.

Begitu besar dan sulitnya perang melawan hawa nafsu sehingga kaum sufi menyebutnya sebagai mujâhadah(perang “habis-habisan”). Dan untuk bisa memenangkan­nya, diperlukan tak kurang dari latihan-latihan spiritual tanpa henti (riyâdhah al-nafs), yang bisa memastikan bahwa daya tahan terhadap nafsu telah menjadi tabiat-kedua (second nature) kita. Bahwa kita terus awas se­hingga tak pernah terperdaya oleh berbagai macam tipuan nafsu yang amat lembut dan tersamar. Apalagi tipuan itu tidak datang dan tampil dalam bentuk tan­tangan di luar diri kita, melainkan justru dari dalam diri kita sendiri. Inilah hakikat ibadah puasa.

Betapa pun, Setan itu Lemah
Ya, memang melawan setan sama sekali bukan pekerjaan mudah. Sebaliknya, ini adalah pekerjaan berat yang prosesnya akan terus kita lalui sampai kita meninggalkan dunia ini. Ada ancaman besar bahwa kita akan mengalami kegagalan-kegagalan di sepanjang waktu. Tapi, kita tak boleh putus asa. Kapan saja gagal, kita harus bangkit, dan berusaha lebih keras lagi. Setidaknya sedikit demi sedikit, kemampuan kita akan meningkat. Makin lama, makin besar.

Malah, bagi orang-orang yang mau berusaha dan terus berusaha memelihara keimanan kepada hari akhir, memperbanyak ibadah, dan berzikir (mengingat)-Nya, tak ada ketakutan untuk menghadapi godaan setan. Kekuatan mereka jauh lebih besar daripada kekuatan setan. Inilah yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an:  
“Sesungguhnya tipu daya setan lemah” (An-Nisaa': 76)

Di atas semuanya itu, bukankah Allah sudah berjanji:
“Dan orang-orang yang berusaha keras  (jahadu, berasal dari kata yang sama dengan mujahadah)menuju keridhaan Kami, Kami pasti akan menunjukinya jalan-jalan-Kami (yang banyak)…” (Al-'Ankabuut: 69)

Cara Mengelak dari Godaan Setan
Pertama, selalu kita bayangkan -memang kenyataannya demikian- bahwa setiap hari, setiap jam, setiap detik, kita dikepung oleh setan yang merupakan musuh terbesar kita, selalu menggoda/mengelabui kita, dan tak pernah lelah dengan pekerjaannya menggoda kita itu. Menyadari -secara terus-menerus- keberadaan musuh besar kita ini adalah langkah pertama yang akan menentukan keberhasilan kita.

Kedua, terus-menerus belajar mengendalikan nafsu. Hanya dengan mengendalikan nafsu, maka godaan setan tak akan mempan kepada kita. Caranya adalah memperbanyak ibadah, memperbanyak upaya-upaya berbuat baik dengan niat tulus untuk mencari keridhaan Allah :
“Sesungguhnya, terhadap hamba-hamba (yang senantiasa beribadah kepada)-Ku, engkau tak berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Penjaga.” (Al-Israa' : 65)

Ketiga, hanya bergaul dengan orang-orang baik. Karena, orang-orang jahat hanyalah akan menjadi“khannas” buat kita:

”Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang orang ingkar menjadi wali (sahabat, pemandu), dengan meninggalkan orang orang beriman. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk (menyengsarakanmu)”. (An-Nisaa': 144)

Penutup
Akhirnya, semoga Allah selalu menolong kita dalam memenangkan perlawanan terhadap setan dan godaannya, yakni dengan terus memohon perlindungannya, seperti diajarkan-Nya kepada kita:

“Dan jika kamu ditimpa godaan setan, berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa waswas setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya. (Al-A'raf: 200-201)

Metode praktisnya, seperti diajarkan Nabi Saww, adalah dengan membiasakan berzikir (mengingat) kepada Allah:

“Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra Adam. Apabila dia berzikir, setan itu mundur menjauh, dan bila dia lengah, setan berbisik.”

Dengan cara seperti ini, sebaliknya dari menjadikan kita manusia yang berbuat keburukan, godaan setan-persis sebagaimana hikmah penciptaannya- menjadi tantangan bagi kita untuk dapat terus-menerus melatih ketakwaan. Yakni, kesadaran tentang Allah yang Selalu Ada dan Mengawasi kita, di mana pun kita berada. Dan jika sudah begini, maka -seperti janji-Nya- kita akan menjadi “orang-orang yang berbahagia”. (Al-Baqarah: 5). Bi ‘awnil-Lhi Ta’aalaa.

* Haidar Bagir
(mizan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar