“Di bulan Ramadhan, syaithan dirantai” (Hadis)
Tapi
kenapa manusia yang berpuasa masih juga cenderung berbuat dosa?
Pertama, penggoda manusia –khannas– bukan hanya syaithan,
melainkan juga manusia. Maka, untuk menghindar dari dosa, tak
bisa tidak, kita harus dapat menundukkan pasangan yang kerjasamanya dengan khannas akan
menjadikan keburukan terlaksana. Itulah nafsu (al-nafs al-ammarah) yang ada
didalam diri kita kita. Kita harus mengendalikannya. Tak ada jalan lain.
Kenyataannya, inilah makna
berpuasa, atau shawm.
Bukan hanya kita difasilitasi oleh Allah dalam bentuk dirantainya setan, sehingga menjadikan kekuatan
musuh kita berkurang setidaknya separuhnya.
Namun,pahala berbuat baik dilipatgandakan. Status orang puasa
pun ditinggikan, hingga disediakan pintu khusus di surga -bernama Al-Rayyan.
Namun,
bagaimana caranya?
Sekali lagi, “Nafsu adalah seperti bayi yang
disapih. Ia akan meronta-ronta jika tidak diberi apa
yang diminta.”(Hadis)
Kekuatan nafs
syaithâniyyah ini
begitu hebat, sehingga hanya orang-orang yang sangat wara‘ (berhati-hati
untuk tidak melanggar batas) sajalah yang akan bisa menghindar darinya.
Maka persoalannya, bagaimanakah
cara menaklukkan sumber segala keburukan dan kejahatan ini?
Setiap orang tua
tahu tentang bagaimana sulitnya menyapih bayi dari air susu ibunya, setelah
sang bayi menikmatinya selama jangka waktu tertentu, bahkan kadang hingga dua
tahun. Apalagi menyusu kepada ibunya sesungguhnya sudah merupakan insting
yang dimiliki si bayi sejak ia lahir ke dunia. Bayi yang sedang disapih seperti
ini akan meronta-ronta, menangis selama bermalam-malam, hingga seringkali ia
tak bisa tertidur selama itu. Diperlukan kesabaran dan kekuatan-hati ekstra
pada pihak orang tua,
khususnya ibu, agar tidak lama-kelamaan kecapaian dalam melawan pemberontakan
bayinya atau jatuh iba sehingga akhirnya memberikan juga apa yang ia minta.
Sebagian ibu bahkan menyusui anaknya hingga lebih dari dua tahun, atau
setidaknya memberikan dot, kepada anaknya akibat 'kekalahan' itu. Demikianlah, untuk melawan nafsu bayi untuk
terus menyusu kepada ibunya, tak ada jalan lain kecuali bertahan untuk tidak
memberinya sama sekali. Dengan kata lain, hal itu tak bisa dicapai secara
bertahap.
Demikian pula halnya dengan upaya
kita melawan nafsu. Tak ada cara lain kecuali dengan tidak memberinya
kesempatan untuk mendapatkan apa yang diingininya. Itu sebabnya Islam
mengajarkan agar kita menahan diri terhadap sesuatu justru di saat kita amat
ingin memperoleh sesuatu itu. Islam mengajarkan agar di bulan Ramadhan kita
berpuasa sebulan penuh. Tapi, pada saat yang sama kita diajar berbuka untuk
sekadar memperkuat tubuh kita. Amat terkenal dalam hubungan ini hadis Nabi Saww. yang menyatakan: “Umatku
tidak makan kecuali dalam keadaan lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang.” Bayangkan
seseorang yang amat lapar, ia tentunya sangat ingin untuk melampiaskan
keinginannya untuk memenuhi perutnya dengan makanan ketika kesempatan untuk itu
tiba. Khususnya orang-orang yang sebelumnya telah berpuasa seharian. Tapi,
justru di saat demikian, ia diminta berhenti makan sebelum kenyang.
Bukan hanya itu. Setelah Ramadhan berakhir, dan Bulan Syawwal tiba, kaum Muslim masih diperintahkan untuk
puasasunnah 6 hari, yang dianjurkan
dilakukan segera setelah 1 Syawal.
Demikian pula dalam hal bersedekah. Islam
mewajibkan agar kita menyedekahkan harta “yang (justru) dicintai” (‘alâ hubbihi ), dan
bukan milik yang sudah tidak dipakai atau sudah dibosani.
Contoh yang lain lagi,kewajiban shalat subuh
harus dilakukan sebelum fajar tiba, dengan rentang waktu yang amat pendek,
padahal pada saat-saat seperti itu orang sedang enak-enaknya tidur. (Alasan
inilah yang barangkali mendorong Khalifah Umar ibn Khaththab untuk menambahkan
kalimat “Shalat itu lebih baik daripada tidur -al-shalâtu khairum-minan-naum”). Lebih-lebih hal ini terasa
dalam anjuran amat keras bagi kaum Mukmin untuk membiasakan shalat tahajud, di
dua pertiga malam, atau sepertiga malam terakhir, atau setidaknya dalam
sedikit dari waktu malam. Alhasil, banyak
sekali contoh-contoh seperti ini dalam ajaran Islam. Kesemuanya mengarah kepada
satu kesimpulan, yakni mengenai pentingnya sikap menahan diri dalam segala hal,
dan keharusan mengonfrontasi langsung nafsu kita sebagai satu-satunya jalan
untuk menaklukkkannya.
Kiranya ini juga makna konsep zuhud dalam
tasawuf.
Kata zuhud berasal
dari akar kata yang bermakna “menahan diri dari sesuatu yang hukum-asalnya sebenarnya
netral (mubâh), alias boleh-boleh saja.”
Sikap zuhud ini
dipromosikan, dalam kaitannya dengan sikap wara‘ (kehati-hatian, seperti telah
disinggung di atas), demi menghindarkan pelakunya dari berlebih-lebihan yang
dilarang karena kekhawatiran orang tak bisa berhenti di batas yang
diperbolehkan.
Sikap hati-hati seperti ini kiranya terkait dengan kenyataan bahwa
berperang melawan nafsu, dan memenangkannya, adalah suatu pekerjaan yang amat
sulit. “Jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu (jihâd al-nafs),” demikian
suatu kali Nabi Saaw menegaskan.
Begitu besar dan sulitnya perang melawan hawa nafsu sehingga kaum sufi
menyebutnya sebagai mujâhadah(perang
“habis-habisan”). Dan untuk bisa memenangkannya, diperlukan tak kurang dari
latihan-latihan spiritual tanpa henti (riyâdhah al-nafs), yang bisa memastikan
bahwa daya tahan terhadap nafsu telah menjadi tabiat-kedua (second nature)
kita. Bahwa kita terus awas sehingga tak pernah terperdaya oleh berbagai macam
tipuan nafsu yang amat lembut dan tersamar. Apalagi tipuan itu tidak datang dan
tampil dalam bentuk tantangan di luar diri kita, melainkan justru dari dalam
diri kita sendiri. Inilah hakikat ibadah puasa.
Betapa pun, Setan itu Lemah
Ya, memang melawan setan sama
sekali bukan pekerjaan mudah. Sebaliknya, ini adalah pekerjaan berat yang
prosesnya akan terus kita lalui sampai kita meninggalkan dunia ini. Ada ancaman
besar bahwa kita akan mengalami kegagalan-kegagalan di sepanjang waktu. Tapi,
kita tak boleh putus asa. Kapan saja gagal, kita harus bangkit,
dan berusaha lebih keras lagi. Setidaknya sedikit demi sedikit, kemampuan kita
akan meningkat. Makin lama, makin besar.
Malah, bagi orang-orang yang mau berusaha dan terus berusaha memelihara
keimanan kepada hari akhir, memperbanyak ibadah, dan berzikir (mengingat)-Nya,
tak ada ketakutan untuk menghadapi godaan setan. Kekuatan mereka jauh lebih
besar daripada kekuatan setan. Inilah yang difirmankan-Nya dalam
al-Qur’an:
“Sesungguhnya tipu daya setan
lemah” (An-Nisaa': 76)
Di atas semuanya itu, bukankah Allah sudah berjanji:
“Dan orang-orang yang berusaha
keras (jahadu, berasal dari kata yang sama dengan mujahadah)menuju keridhaan Kami, Kami pasti akan menunjukinya
jalan-jalan-Kami (yang banyak)…” (Al-'Ankabuut: 69)
Cara Mengelak dari Godaan Setan
Pertama, selalu
kita bayangkan -memang kenyataannya demikian- bahwa setiap hari,
setiap jam, setiap detik, kita dikepung oleh setan yang merupakan musuh
terbesar kita, selalu menggoda/mengelabui kita, dan tak pernah lelah dengan
pekerjaannya menggoda kita itu. Menyadari -secara terus-menerus- keberadaan
musuh besar kita ini adalah langkah pertama yang akan menentukan keberhasilan
kita.
Kedua, terus-menerus
belajar mengendalikan nafsu. Hanya dengan mengendalikan nafsu, maka godaan
setan tak akan mempan kepada kita. Caranya adalah memperbanyak ibadah,
memperbanyak upaya-upaya berbuat baik dengan niat tulus untuk mencari keridhaan
Allah :
“Sesungguhnya, terhadap
hamba-hamba (yang senantiasa beribadah kepada)-Ku, engkau tak berkuasa atas
mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Penjaga.” (Al-Israa' : 65)
Ketiga, hanya
bergaul dengan orang-orang baik. Karena, orang-orang jahat hanyalah akan
menjadi“khannas” buat
kita:
”Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang orang ingkar menjadi wali (sahabat,
pemandu), dengan meninggalkan orang orang beriman. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk (menyengsarakanmu)”. (An-Nisaa': 144)
Penutup
Akhirnya, semoga Allah selalu menolong kita
dalam memenangkan perlawanan terhadap setan dan godaannya, yakni dengan terus
memohon perlindungannya, seperti diajarkan-Nya kepada kita:
“Dan jika kamu ditimpa godaan setan, berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa waswas setan, mereka ingat
kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari)
kesalahan-kesalahannya. (Al-A'raf: 200-201)
Metode praktisnya,
seperti diajarkan Nabi Saww, adalah dengan membiasakan berzikir (mengingat) kepada
Allah:
“Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra Adam. Apabila dia berzikir,
setan itu mundur menjauh, dan bila dia lengah, setan berbisik.”
Dengan cara seperti ini, sebaliknya dari menjadikan kita manusia yang
berbuat keburukan, godaan setan-persis sebagaimana
hikmah penciptaannya- menjadi tantangan bagi kita untuk dapat
terus-menerus melatih ketakwaan. Yakni, kesadaran tentang Allah yang Selalu Ada
dan Mengawasi kita, di mana pun kita berada. Dan jika sudah begini, maka -seperti janji-Nya- kita akan menjadi “orang-orang yang berbahagia”.
(Al-Baqarah: 5). Bi ‘awnil-Lhi Ta’aalaa.
* Haidar Bagir
(mizan.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar