Kami mendarat di
Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menjelang waktu salat Jumat.
Maka, saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang Jumat. Saya tahu tidak ada
kampung di sekitar bandara itu. Dari atas terlihat bandara tersebut seperti
benda jatuh di tengah gurun tandus yang mahaluas. Tapi, setidaknya pasti ada
masjid di bandara itu.
Memang ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai
sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele. Di
Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan, di kota sebesar Teheran, ibu kota negara dengan penduduk 16 juta orang
itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat.
Itu pun bukan di masjid, tapi di Universitas
Teheran. Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi,
jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Islam Iran,
Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar.
“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?”
tanya saya.
“Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke
Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di
sana waktunya
sudah lewat,” katanya.
Salat Jumat ternyata memang tidak wajib di negara
Islam Iran
yang menganut aliran Syiah itu. Juga tidak menggantikan salat Duhur. Jadi, siapa
pun yang salat Jumat tetap harus salat duhur.
Karena Jumat adalah hari libur, saya tidak
dijadwalkan rapat atau meninjau proyek. Maka, waktu setengah hari itu saya
manfaatkan untuk ke kota suci Qum.
Jalan tolnya tidak terlalu mulus, tapi sangat OK: enam jalur dan tarifnya hanya
Rp 4.000. Tarif itu kelihatannya memang hanya dimaksudkan untuk biaya
pemeliharaan.
Sepanjang perjalanan ke Qum
tidak terlihat apa pun. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya gurun,
gunung tandus, dan jaringan listrik. Saya bayangkan alangkah enaknya membangun
SUTET (saluran udara tegangan ekstratinggi) di Iran. Tidak ada urusan dengan
penduduk. Alangkah kecilnya gangguan listrik karena tidak ada jaringan yang
terkena pohon. Pohon begitu langka di sini.
Begitu juga letak kota
suci Qum. Kota
ini seperti berada di tengah-tengah padang
yang tandus. Karena itu, bangunan masjidnya yang amat besar, yang berada dalam
satu kompleks dengan madrasah yang juga besar, kelihatan sekali menonjol sejak
dari jauh.
Tujuan utama kami tentu ke masjid itu. Inilah
masjid yang luar biasa terkenalnya di kalangan umat Islam Syiah. Kalau
pemerintahan Iran
dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat mullah. Demokrasi di Iran
memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama. Presidennya dipilih secara
demokratis untuk masa jabatan paling lama dua kali. Tapi, sang presiden harus
taat kepada pemimpin tertinggi agama yang sekarang dipegang Imam Khamenei.
Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden (tidak harus dari partai),
tapi harus lolos seleksi oleh dewan ulama.
Tapi, sang imam bukan seorang diktator mutlak. Dia
dipilih secara demokratis oleh sebuah lembaga yang beranggota 85 mullah. Setiap
mullah itu pun dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat.
Dalam praktik sehari-hari, ternyata tidak seseram
yang kita bayangkan. Amat jarang lembaga keagamaan itu mengintervensi
pemerintah. “Dalam lima
tahun terakhir, kami belum pernah mendengar campur tangan mullah ke
pemerintah,” ujar seorang CEO perusahaan besar di Teheran.
Saya memang kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota
suci Qum. Banyak sekali wanita yang
mengendarai mobil. Tidak seperti di negara-negara di jazirah Arab yang
wanitanya dilarang mengendarai mobil. Bahkan, orang Iran menilai negara yang melarang
wanita mengendarai mobil dan melarang wanita memilih dalam pemilu bukanlah
negara yang bisa menyebut dirinya negara Islam.
Dan lihatlah cara wanita Iran berpakaian. Termasuk di kota suci Qum. Memang,
semua wanita diwajibkan mengenakan kerudung (termasuk wanita asing), tapi ya
tidak lebih dari kerudung itu. Bukan jilbab, apalagi burqa. Kerudung itu
menutup rapi kepala, tapi boleh menyisakan bagian depan rambut mereka. Maka,
siapa pun bisa melihat mode bagian depan rambut wanita Iran. Ada yang dibuat modis
sedikit keriting dan sedikit dijuntaikan keluar dari kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan
cara mewarnai rambut mereka. Ada
yang blonde, ada pula yang kemerah-merahan.
Bagaimana baju mereka? Pakaian atas wanita Iran umumnya
juga sangat modis. Baju panjang sebatas lutut atau sampai ke mata kaki. Pakaian
bawahnya hampir 100 persen celana panjang yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain biasa, tapi banyak
juga yang celana jins. Dengan tampilan pakaian seperti itu, ditambah dengan
tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita Iran terlihat sangat modis.
Apalagi, seperti kata orang Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang
cantik ada sebelas! Sedikit sekali saya melihat wanita Iran yang
memakai burqa, itu pun tidak ada yang sampai menutup wajah.
Sampai di kota Qum, sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan
orang bubaran keluar dari masjid. Saya pun melawan arus masuk ke masjid melalui
pintu 15. Setelah salat Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang
dikunjungi ribuan jamaah itu. Makam itu berada di dalam masjid sehingga
suasananya mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid Nabawi.
Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Alquran di dekat
situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah.
Yang juga menarik adalah strata sosialnya. Kota
Metropolitan Teheran berpenduduk 16 juta dan dengan ukuran 50 km garis tengah
adalah kota
yang sangat besar. Sebanding dengan Jakarta
dengan Jabotabek-nya. Tetapi, tidak terlihat ada keruwetan lalu lintas di
Teheran. Memang, Teheran tidak memiliki kawasan yang cantik seperti Jalan
Thamrin-Sudirman, namun sama sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh seperti
Pejompongan dan Bendungan Hilir. Memang, tidak banyak gedung pencakar langit
yang cantik, tapi juga tidak terlihat gubuk dan bangunan kumuh.
Kota Teheran tidak memiliki bagian kota
yang terlihat mewah, tetapi juga tidak terlihat ada bagian kota yang miskin. Teheran bukan kota yang sangat bersih,
tapi juga tidak terasa kotor. Di jalan-jalan yang penuh dengan mobil itu saya
tidak melihat ada Mercy mewah, apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada bajaj,
motor, atau mobil kelas 600 hingga 1.000 cc.
Lebih dari 90 persen mobil yang memenuhi jalan
adalah sedan kelas 1.500 hingga 2.000 cc. Saya tidak melihat ada mal-mal yang
besar di Teheran. Tapi, saya juga sama sekali tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi pengemis.
Wanitanya juga tidak ada yang sampai pakai burqa, tapi juga tidak ada yang
berpakaian merangsang. Orangnya rata-rata juga ramah dan sopan. Baik dalam
sikap maupun kata-kata.
Pemerataan pembangunan terasa sekali berhasil
diwujudkan di Iran.
Semua rumah bisa masak dengan gas yang dialirkan melalui pipa tersentral.
Demikian juga, 99 persen rumah di Iran menikmati listrik “untuk tidak
menyebutkan 100 persen.
Melihat Iran seperti itu saya jadi teringat
makna kata yang ditempatkan di bagian tengah-tengah Alquran: Wal Yatalaththaf!
*ke Iran setelah 30 tahun diembargo Amerika
(dahlaniskan.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar