Pakar psikologi
komunikasi Jalaludin Rakhmat mengatakan pemberitaan yang negatif berpotensi
menyebabkan gangguan jiwa terhadap masyarakat, meskipun dalam skala yang lebih
kecil dari kegilaan.
Dalam sebuah penelitian yang mengelompokkan mahasiswa dalam tiga kelompok, kata Jalal, kelompok pertama ditugaskan untuk mencatat dan mengamati berita positif, sementara kelompok kedua mencatat dan mengamati berita negatif. Kelompok ketiga mencatat keduanya.
"Setelah kurun waktu satu bulan, kelompok mahasiswa yang pertama ternyata terbukti lebih positif memandang kehidupan dan lebih ceria, sementara kelompok kedua cenderung menjadi pribadi yang sinis dan cepat marah," kata Jalal.
Tanda-tanda yang ditemukan itu, kata Jalal, merupakan gejala awal gangguan kejiwaan, sehingga jika dalam rentang waktu yang lebih lama bisa menimbulkan dampak yang lebih parah.
Untuk itu, Jalal mendorong agar wartawan lebih cermat dalam memilih sudut pandang dalam pemberitaannya, selain masyarakat yang juga diharapkan lebih selektif dalam memilih berita yang layak ditonton.
"Masyarakat harus diberitahu juga fakta-fakta yang hadir di tengah mereka, misalnya ada pejabat yang mau hidup sederhana dan mengabdi kepada masyarakat meskipun beberapa rekannya tersangkut kasus korupsi," kata Jalal.
Pemberitaan model itu, kata Jalal, diharapkan bisa memberikan inspirasi bahwa dunia tidak seburuk yang dibayangkan seperti saat ini.
"Seharusnya jurnalistik itu tidak hanya dilihat sebagai profesi, tetapi juga sebuah misi untuk mencerdaskan," kata Jalal.
Menurut Jalal, seorang jurnalis harusnya tidak hanya berpikir tentang menyukseskan institusi medianya secara komersial, tetapi juga berperan lebih luas dalam hal-hal yang lebih mulia.
"
(pelitaonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar