Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan
tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran . Kesemua
fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah
dengan kebudayaan setempat di Indonesia
yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke nusantara
Keberhasilan Revolusi Islam Iran yang terinspirasi dari
doktrin-doktrin Islam Syiah, dalam banyak hal menghembuskan angin perubahan
(the wind of changes). Tidak hanya di dalam negeri Iran , peta politik di Timur Tengah
namun juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada pergulatan pemikiran di
Indonesia.
Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr Richard N Frye, ahli
masalah Iran di Universitas Harvard, berkomentar: "Revolusi Islam di Iran
bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan
satu titik-balik bagi rakyat di seluruh negara- negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia
ketiga".
Pemikiran tokoh-tokoh di balik Revolusi Islam Iran, seperti
Ayatullah Khomenei, Syahid Muthahari, Dr Ali Syariati, dan Allamah Thabathabai
serta merta menjadi kiblat politik alternatif bagi cendekiawan dan para pemikir
Islam di Indonesia.
Amien Rais pernah menerima gelar Syi'ah juga, karena dalam banyak kesempatan, ia sering mengutip Ali Syari'ati bahkan juga menyempatkan diri menerjemahkan karya tulis Ali Syariati.
Masuknya karya-karya para pemikir Iran di Indonesia menjadi oase bagi banyak intelektual
Sehingga, ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual
Tentang khazanah keilmuan
Syi'ah, Prof DR H Umar Shihab (Ketua MUI Pusat) dalam kunjungannya ke
Iran beberapa hari lalu bersama Prof Dr HM Galib MA (sekretaris MUI Sulsel)
berkomentar: "Dalam kunjungan ini, kami tercengang melihat khazanah
kepustakaan Islam yang begitu lengkap di Teheran, Masyhad dan Qom, dan sangat
menyesal baru mengunjunginya di usia saya yang 70 tahun ini."
Tradisi Syiah
Kajian tentang Syi'ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan bahwa orang-orang Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
Tradisi Syiah
Kajian tentang Syi'ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan bahwa orang-orang Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
Bahkan dikatakan Syi'ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara.
M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal
Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) Surabaya yang dipimpin Dr Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh 'Abd al-Ra'uf Al-Sinkli, salah seorang ulama besar nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi'ah. Ia pun setelah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur, berkesimpulan bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah kuburan-kuburan orang Syi'ah.
Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar dari Walisongo adalah ulama Syi'ah. Dengan tegas ia menulis, Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah
Mazhab Syafi'i
Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi'ah pun cukup kuat di dalammya, Dr Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, "Harus diakui, pengaruh Syi'ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba'i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syi'ah".
KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syi'ah.
Tradisi itu lahir di
Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di Jogjakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari Gujarat-Persia. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, Kafilah Budaya meruntut berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi Syiah dan
Perguruan Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah Kuala, menunjukkan fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan bahwa idiom Syiah telah sangat dikenal masyarakat.
Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di
Karenanya, lewat tulisan ini saya menggugat, jika dikatakan
tradisi Iran dan Syiah baru
datang ke Indonesia
belakangan ini dan dikatakan tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Muslim
Indonesia yang bermazhab Sunni. Justru yang bertentangan dengan tradisi
masyarakat Muslim Indonesia adalah yang menganggap bid'ah dan sesat hal-hal
yang selama ini ditradisikan masyarakat kita, terutama Muslim Bugis-Makassar,
seperti shalawatan, barazanji, maulid dan menyimpan gambar-gambar wajah wali
yang dianggap mendatangkan keberkahan.
Tentunya, kajian tentang Syi'ah memang dibutuhkan. Tidak saja
untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran Syiah, namun ia
juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap! Sebab,
sebagaimana pesan Imam Ali as, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak
diketahuinya."***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar