Hari Raya Topat (hari ketujuh bulan Syawal). Namun, saat itu, sekitar
pukul jam 11 pagi, bukannya membawa ketupat untuk silatutahmi, tapi
sekitar 500 orang membawa clurit, pedang, pentungan dan sejumlah bom
Molotov menyerang beberapa rumah.
Satu orang korban tewas bernama Hamama (50), tujuh orang menderita
luka kritis, puluhan orang mengalami luka-luka, juga puluhan rumah
warga dibakar. Korban lalu ditempatkan, tepatnya diungsikan oleh
pemerintah setempat di Gedung Olah Raga Kabupaten Sampang (GOR
Sampang).
Kejadian di atas adalah sepenggal tragedi kemanusiaan yang dihadirkan
oleh kehendak dominasi atas nama agama. Dan sebuah potret buram
ekstremisme dengan kedok agama. Ironis!
Kompas.com, pada Jumat, 21 Juni 2013, melaporkan, warga Syiah itu
dipaksa untuk pindah dari Gor Tennis Indoor Sampang, ke tempat lain.
Iklil Al Milal, pimpinan warga Syiah menurut Kompas, mengaku dirinya
sampai subuh dipanggil ke Mapolres Sampang membicarakan soal
pemindahan warga Syiah dari penampungan. Di Mapolres, Iklil bertemu
dengan sejumlah kiai, perwakilan Kejari Sampang, Wakil Bupati Sampang,
dan Bakesbangpol Sampang.
"Karena hari ini ada aksi istighasah saya diminta pindah sementara ke
penampungan di Sidoarjo untuk menghindari kerusuhan, mengingat
massanya cukup banyak,"tutur Iklil.
Masih menurut Kompas, dia mengaku tidak keberatan dengan tawaran
pemindahan sementara itu. Namun karena Pemkab Sampang tak bisa
memastikan sampai kapan mereka ditempatkan di Sidoarjo, tawaran itu
ditolak.
Menurut Iklil, Pemkab Sampang juga menawarkan akan memberikan
sertifikat aset-aset kekayaan warga Syiah di Desa Bluuran dan Desa
Karang Gayam. Namun lagi-lagi tawaran itu mentah karena dia merasa
Pemkab Sampang tidak konsisten.
Karena itu, setelah berembuk dengan seluruh warga Syiah, Iklil
memutuskan bahwa mereka memilih bertahan di GOR Tennis Indoor apa pun
risikonya. Dia hanya meminta perlindungan kepada Polres Sampang agar
tetap menjaga kemanan agar warga Syiah tidak terancam keselamatannya.
Begitulah penggalan sikap ekstrimisme, di tengah kemelut dan
kebingungan anak-anak bangsa mencari jalan keluar, tiba-tiba bangsa
yang sedang berjuang untuk bertahan ini diganggu dengan sikap bengis,
serta paham-paham yang secara nyata menentang kebhinekaan. Padahal
kebhinekaan yang terwujud dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika itu
merupakan salah satu pilar utama bangsa dan negara ini.
Ekstremisme itu terjadi tak terelakkan, akibat dari melelehnya
nasionalisme dan memudarnya kesadaran akan nilai dan arti kebhinekaan.
Karena bukan merupakan gagasan logis dan metodis, ekstremisme tak
selalu tampil dalam satu pola atau gerakan dan modus. Ia kadang muncul
sebagai sebuah sikap personal, namun kadang pula muncul sebagai
pilihan komunal. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang
menyimpan kepentingan dan tendesi negatif, kadang pula diyakini secara
naïf sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.
Ekstremitas biasanya mudah diterima terutama oleh individu-individu
yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya.
Ia mudah diterima karena cenderung meliburkan logika dan memakzulkan
segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak indvidu-individu yang
tidak menerimanya.
Dari sinilah, ekstremitas berpeluang mengalami ekspansi makna.
Ekstremitas keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan
gaya hidup.
Ekstremisme sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam
penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstrimis, begitu pelaku
sering dinobatkan, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin
yang benar. Berbeda dalam memahami dan mengamalkan agama dianggap
sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama. Sejurus dengan
itu, individu yang meyakini atau memilih doktrin yang berbeda dengan
doktrin yang diyakini secara ekstrem sebagai kebenaran yang utuh dan
mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya, ancaman dan perusak.
Ekstremisme berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang
terus merangsangnya menutupi kelemahan dalam sikap dengan cara yang
ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar
terus mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang
dianut di luar lingkarannya. Dan itu adalah seruan sesat yang
divulgarkan dengan fatwa.
Tak ayal lagi, diperlukan sebuah doktrin yang mampu memantapkan
ekstremitas sikapnya sekaligus menjadi pembius kesadaran
inetektualnya.
Doktrin pemantap ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup
semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya.
Dengan dasar doktrin itu, ia diharapkan menjadi tenang dan mencerabut
naluri keingintahuan. Tidak hanya itu, ia bahkan bisa menambah poin
kesalehannya bila menerapkannya secara ekstrem.
Dengan doktrin ini, kekerasan bisa terlihat sebagai kesalehan,
penindasan menjadi cara meraih pahala, pembunuhan, penjarahan, dan
semua tindakan yang menurut standar di luar doktrin itu adalah
kebiadaban. Bisa dipastikan itu sebagai jalan pintas meraih kerelaan
Tuhan.
Pluralitas dan realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang
dianutnya akan membuat pengiman ekstremisme gamang dan mencoba untuk
mengukur kebenaran doktrin yang dianutnya.
Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secar
ekstrem, ia harus membasminya dengan harapan perbedaan yang ada di
hadapannya tidak lagi memancing pertanyaan tentang kebenaran
doktrinnya.
Doktrin itu bukan undang-undang negara, bukan pula aksioma rasional,
tapi dikemas dalam sebuah frase yang kudus. Fatwa sebutannya.
Ia terlanjur dipahami sebagai teks yang dating dari langit. Para
pembuatnya juga sudah dianggap sebagai "tuhan-tuhan bertulang" yang
tidak layak dipertanyakan apalagi ditentang.
Dalam sekejap, pendapat yang dikemas dengan kata "fatwa" bisa
menimbulkan sebuah atau beberapa peristiwa. Ia sangat efektif untuk
menciptakan sebuah aksi dan mengubah manusia yang lugu dan santun
menjadi beringas dan sadis. Dengan satu kata "fatwa" pula, rumah-rumah
bisa rata dengan bumi, anak-anak menggigil menangis tercekam takut dan
wanita-wanita menjerit takut kehilangan kehormatan.
Hanya karena yang menerbitkan fatwa itu adalah orang-orang yang entah
bagaimana prosesnya dianggap duplikat-duplikat orang suci (Nabi).
Mereka tiba-tiba menggunakan parang, clurit dan semua sarana
pemusnahan dihunus dan ditari-tarikan dalam sebuah even kolosal
pembantaian. Alasan peragaan seni kebencian itu cukup satu: "berbeda"!
"Berbeda" ditafsirkan secara ekstrem sebagai sinonim "sesat". Sesat
terlanjur direduksi sebagai "kehilangan hak menghirup udara", manusia
maupun ternaknya, rumah maupun ladang tembakaunya.
Selain itu, di Jatim tendensi kekuasaan kultural (atas nama kesukuan
dan trah) juga diwakili oleh sebuah yayasan yang menjadi sanggar dan
pusat propaganda kebencian sektarian beberapa manusia yang merasa
kekuasaan kulturalnya (sebagai pemegang hak istimewa"keluarga suci")
terancam oleh sebuah mazhab yang dianggap bisa menyebarkan kesadaran
tentang kesucian yang hanya menjadi niscaya bagi Nabi dan para
penerusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam khazanah utama umat
Islam. Dengan logika"dominasi"inilah, mereka melakukan semua cara
bahkan yang paling sadis pun untuk mempertahankan dominasi kultural
ini, apapun risikonya termasuk menghina dan sebarapa luas area
kerusakan yang diakibatkannya.
Syiah, mazhab dan lainnya tidak lebih dari kedok-kedok yang sengaja
dimunculkan sebagai kosmetika tendensi ini. Kekuasaan baik struktural
(politik dan lainnya) maupun kultural (agama) selalu menggiurkan dan
membutakan hati, sebesar jubah dan sorban dikenakan.
Padahal, masyarakat Madura adalah masyarakat yang pada dasarnya sangat
toleran dan menerima keragaman. Intoleransi dan ekstremisme adalah
sesuatu yang sangat mungkin diciptakan sebagai bagian dari bahasa
kekuasaan (language of power) yang salah dipahami.
Black Horse (kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar