"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Senin, 08 Juli 2013

Belajar dari Jatuhnya Presiden Mursi

Presiden Mohamed Mursi di gulingkan dari tapuk pemerintahan Mesir.
Setelah sekian hari, aksi protes masyarakat sipil berjalan, akhirnya
kekuatan militer mengambilalih pemerintahan. Pembajakan atas nama
transisi pemerintahan dilakukan oleh militer. Terlepas dari ulah
militer, pemerintahan Mursi nampak rapuh yang hanya mampu bertahan
satu tahun. Kesalahan Mursi sebagaimana yang diakui sendiri,
keterpurukan ekonomi dan gagal melakukan konsolidasi pelbagai kekuatan
politik yang ada. Meskipun di penghujung pemerintahannya, Presiden
Mursi menawarkan sistem pemerintahan koalisi kepada kaum oposisi namun
hal ini sudah terlambat. Pemerintahan dimanapun akan rapuh jika tidak
dapat menyelesaikan masalah ekonomi rakyat dan problem politik dalam
negri. Sebagaimana yang terjadi pada pemerintahan Hosni Mubarak
terdahulu. Dari pengalaman ini, sepatutnya pemerintahan Mesir dan
Tunisia, harus belajar banyak dengan Indonesia. Mengapa harus
Indonesia?

Ada kemiripan antara Indonesia, Mesir dan Tunisia. Ketiga negara ini,
berhasil melepaskan diri dari pemerintahan otoriter terdahulu.
Indonesia dengan gerakan reformasi di tahun 1998; Presiden Hosni
Mubarak, tumbang pada tahun 2011; dan Revolusi Melati Tunisia berhasil
mengulingkan Presiden Ben Ali pada Desember 2010. Sejak saat itu,
pemerintahan yang baru berupaya melakukan konsolidasi demokrasi.
Persamaan kedua, baik Indonesia, Mesir dan Tunisia, mayoritas
penduduknya beragama Islam. Dimana proses transisi dan konsolidasi
yang dilakukan tidak bisa dilepaskan dari kelompok atau aliran Islam
di dalamnya. Selain daripada itu, ketiga negara ini memiliki rasa
nasionalisme yang kuat dan adanya pertarungan antar kekuatan
nasionalis (sekuler) dan kekuatan Islam sepanjang sejarah. Dalam
proses itu, Tunisia hingga hari ini tidak hentinya pergolakan terus
terjadi. Tragis bagi pemerintahan Mesir yang hanya berumur satu tahun.
Sementara Indonesia mampu bertahan sejak tahun 1998 hingga sekarang
ini. Dimana letak keberhasilan Indonesia, dibandingkan dengan Mesir
dan Tunisia?

Konsensus, itulah kuncinya. Walaupun konsensus ini sering menabrak
pakem politik demokrasi yang mapan, namun hal ini menjadi perekat
kepentingan bersama yang lebih luas. Dengan konsensus itu, menunjukan
bahwa apa yang dilakukan pemerintahan transisi lebih penting daripada
siapa yang menjalankan pemerintahan transisi tersebut. Sejak
pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Susilo Bambang Yudhoyono jilid
kedua, seperti sudah menjadi kesepahaman untuk membangun sistem
pemerintahan koalisi. Walaupun hal ini dianggap tidak lazim dalam
sistem pemerintahan Presidensiil. Hal yang sangat berbalik dengan
Presiden Mursi, yang dituduh oleh kaum opisisi, lebih mementingkan
Ikhwanul Muslimin. Sehingga warna dan bentuk pemerintahan koalisi
model Indonesia, menjadi baru dalam ilmu politik. Namun hal itu
dilakukan dalam satu zaman yang masih dalam tahap transisi demokrasi
yang membutuhkan terbukanya ruang konsolidasi demokrasi yang lebih
luas. Demikian juga dengan program utama dari pemerintahan Indonesia
pasca Orde Baru. Sudah menjadi konsensus, bahwa korupsi menjadi musuh
bersama. Siapapun yang memegang pemerintahannya.

Tradisi konsensus ini sudah mengakar kuat dalam sistem pemerintahan
kita. Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Terjadi konsensus
antara golongan nasionalis dan golongan Islam dalam perumusan dasar
negara Indonesia. Keuntungan Indonesia, pertarungan antara kaum
nasionalis dan kaum agama sudah terlampaui dalam sejarah. Dasar negara
Pancasila telah diterima menjadi konsensus bangsa Indonesia.
Keberagaman diakomodasi dalam jiwa Bhinneka Tungga Ika. Itulah peran
besar kaum Islam di Indonesia dalam membentuk semangat nasionalisme.
Sehingga demokrasi dalam pengertian menghormati adanya perbedaan
selaras dengan jiwa Islam di Indonesia. Solidaritas Islam Indonesia
telah menembus perbedaan dan pluralisme yang memang menjadi sosio
kultural bangsa ini. Apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia tidak
menggambarkan hal tersebut. Terlihat saat Presiden Mursi akan
mendeklarasikan konstitusi baru model syariat Islam ditentang habis
oleh kelompok yang lain. Termasuk oleh kelompok keagamaan garis keras,
seperti Hizbul Tahir.

Tetapi yang lebih penting daripada itu, tugas utama pemerintahan
transisi adalah mengatasi ketimpangan pembangunan ekonomi rakyat dan
mengkonsolidasikan kekuatan politik yang ada. Karena inilah akar dari
semua pergolakan yang terjadi. Pembangunan ekonomi dan politik harus
berjalan seiring. Pengalaman Indonesia, Mesir dan Tunisia, menunjukan
meskipun pemerintahan otoriter terdahulu mampu meningkatkan drajat
ekonomi rakyat, dengan meningkatnya pendapatan per kapita tetapi rapuh
juga ketika kebebasan politik diberangus. Jatuhnya pemerintahan Mursi,
lebih banyak disorot tentang kelangkaan BBM dibandingkan dengan
masalah hijab atau memelihara janggut. Seharusnya syariat Islam model
Ikhwanul Muslimin (karena berbeda juga model dari aliran Islam yang
lain) yang ingin ditegakan oleh Presiden Mursi, lebih menyelesaikan
masalah-masalah sosial-ekonomis rakyat, dan mampu mengakomodasi
perbedaan politik yang tajam. Dengan demikian terpancar wajah Islam
yang dapat merealisasikan segala tuntutan ekonomi dan politik bangsa.
Selama pemerintahan tetap berorientasi kepada kepentingan rakyat bukan
kepentingan golongan, maka niscaya rakyatpun akan tetap mendukung
pemerintahan. Kehadiran pemerintahan yang mengutamakan kepentingan
golongan (aliran Islam tertentu) dengan mencoba menerapkan tafsir
terhadap syariat, maka saat itu juga kekuatan politik lain terus
menganggu. Dan bisa berakhir dengan penggulingan kekuasaan.

Tentu saja situasi sosio kultural Indonesia jauh berbeda dengan Mesir
atau Tunisia. Kelompok-kelompok Islam di Indonesia melahirkan
pemikiran yang menselaraskan Islam dengan Demokrasi. Dan menolak
lahirnya pemerintahan otokratis. Mayoritas muslim di Indonesia
menjunjung tinggi hak keagamaan bagi semua kelompok seperti dijamin
oleh konstitusi. Terlebih pengaruh dua ormas besar di Indonesia: NU
dan Muhammadiyah, yang lebih banyak berkiprah di tataran sosial dan
melahirkan ajaran penyeimbangan ajaran Islam, demokrasi dan
pembangunan bangsa. Tidak mengherankan jika para tokoh-tokoh NU dan
Muhammadiyah menyuarakan gerakan anti korupsi, penciptaan tata kelola
pemerintahan yang baik, dan penolakan atas IMF. Ketimbang
mempersoalkan masalah khilafiah dan penerapan syariat Islam.

Dalam konteks gerakan Islam, situasi Indonesia dapat menjadi model
tersendiri yang boleh jadi dapat diintrodusir oleh negara negara
Muslim lain. Dimana organisasi masyarakat sipil Islam (seperti NU dan
Muhammadiyah) bisa memainkan aktif dalam memperkuat negara demokrasi.
Tanpa harus terjebak dengan politisasi Islam dengan menjadi partai
Islam. Kedua, keragaman dalam Islam di Indonesia justru menjadi
pendorong diterimanya perbedaan dalam masyarakat. Dan menginsipirasi
bermacam prakarsa kemanusiaan yang diperlukan bagi pembangunan bangsa.

Meskipun demokrasi di Indonesia pasca reformasi masih belum matang dan
terus melakukan konsolidasi, namun kita cukup berbangga dapat bertahan
hingga sekarang ini. Hal yang patut dipelajari oleh Mesir dan Tunisia
dari pemerintah Indonesia yakni reformasi di tubuh TNI/ Polri.
Bagaimanapun kekuatan militer yang terkonsolidasi dan masih turut
campur dalam dunia politik, dapat membahayakan demokrasi. Dengan
kekuatan senjata yang dimiliki, militer dapat sewaktu-waktu mengancam
pemerintahan yang sah dan dipilih melalui Pemilu. Membatasi ruang
militer di dunia politik, juga merupakan konsensus bersama bangsa ini
pasca reformasi.

Terakhir, menarik apa yang dikemukakan oleh Tom Pepink. Bahwa model
pemerintahan transisi yang dibangun di Indonesia dengan mayoritas
Muslim, dapat diimport oleh negara negara muslim lain. "The idea of
Indonesia as a template for other post-authoritarian Muslim states, or
as a model that can be imported to understand transitions in the rest
of the Muslim world".


*Budi Pasopati
(kompasiana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar