Tidak ada yang salah dengan sebutan Bangsa Tempe. Sebutan itu digunakan Soekarno untuk membangkitan heroisme rakyat Indonesia pada masa revolusi dulu. Dan memang tidak ada penjelasan tentang makna yang dimaksud Bung Karno tentang predikat Bangsa Tempe itu. Tapi dapat difahami dalam kontek kalimatnya Soekarno menyebut Bangsa Tempe sebagai sebutan untuk bangsa lembek, gampang menyerah, tidak punya keyakinan dan karakter.
Masalahnya saat ini, urusan selembek
Kasus Tempe ini adalah memberi pelajaran mahal, betapa cara kita menangani kepentingan dalam negeri selama ini banyak yang keliru. Bagaimana bisa negara yang demikian kaya dan subur yang tanahnya bisa dtanami dengan tanaman apapun harus memenuhi kebutuhannya dengan mengandalkan impor. Apa kita tidak bisa menanam? Sangat bisa. Masalahnya, petani yang menjadi ujung tombak pertanian diabaikan dan dibiarkan sendiri. Setiap kali musim tanam mereka berhadapan dengan kesulitan bibit dan kelangkaan pupuk. Kalaupun pun ada mereka harus membeli dengan sangat mahal. Begitu masuk musim panen, hasilnya dihargai dengan sangat rendah. Jangankan untuk hidup untuk ongkos produksipun kadang tidak tertutupi. Lantas dimana peran negara yang bisa memberi keadilan ketika hukum rimba kapitalisme berlangsung di negeri ini?
Terlepas dari masalah perdagangan kedelai atau gejolak harga di luar negeri, tetap saja akal sehat tidak bisa menerima jika negeri ini tidak bisa menanam kedelai. Tapi siapa yang mau menanam, ketika panen pasti harganya jatuh. Karena setiap petani panen, produk serupa yang datang dari luar negeri langsung menggempur pasar. “Ya, matilah petani,” tegas Aswandi. Dalam permainan ekonomi petani itu harus disupport karena dia merupakan penjaga gawang ekonomi negara. “Gawang tidak dijaga, kita kebobolan. Makanya petani harus disubsidi sebagaimana negara lain yang juga menjaga para petaninya, bukan membiarkannya,” kata Aswandi.
Tentang kartel yang mengendalikan perdagangan beberapa komoditi di dalam negeri, bukanlah isu pokok jika masih ada kepemimpinan di negeri ini. Keberadaan kartel yang merajalela itu adalah indikasi jika negara dalam keadaan lemah, sehingga semua orang yang memiliki akses bebas melakukan apa saja termasuk menguasai komoditi yang menguasai hajat orang banyak. “Mereka yang memiliki uang akan berusaha untuk menguasai resource termasuk hukum. Hukum kelihatannya seperti tegak tapi keadilan tidak ada,” kata Aswandi di depan jemaah mesjid Al-Ikhlas, Panorama Serpong.
Negara kuat itu negara yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri bukan bergantung pada negara lain. Dan hari ini
(beliindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar