Dalam studi Hubungan Internasional, power, atau kekuatan negara-negara biasanya didefinisikan dalam dua kategori, hard power dan soft power. Hard power secara singkat bisa dimaknai sebagai kekuatan material, semisal senjata, jumlah pasukan, dan uang yang dimiliki sebuah negara. Umumnya pemikir Barat (atau pemikir Timur yang westernized) lebih memfokuskan pembahasan pada hitung-hitungan hard power ini.
Contohnya saja, seberapa mungkin Indonesia bisa menang melawan Malaysia jika
terjadi perang? Yang dikedepankan biasanya adalah kalkulasi seberapa banyak
senjata, kapal perang, kapal selam, dan jumlah pasukan yang dimiliki kedua
negara.
Begitu juga, di saat AS dan Israel berkali-kali melontarkan
ancaman serangan kepada Iran, yang banyak dihitung oleh analis Barat adalah
berapa banyak pasukan AS yang kini sudah dipindahkan ke pangkalan-pangkalan
militer AS di kawasan sekitar Teluk Persia; seberapa banyak rudal yang
dimililiki Iran, seberapa jauh jarak jelajahnya, dst.
Bila memakai kalkulasi hard power, harus
diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS.
Apalagi, doktrin militer Iran
adalah defensive(bertahan,
tidak bertujuan menginvasi Negara lain). Iran hanya menganggarkan 1,8% dari
pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M dollar). Sebaliknya , AS
adalah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau
sebesar 687 M dollar. Bahkan , AS telah membangun pangkalan-pangkalan militer di
berbagai penjuru dunia yang mengepung Iran . Bisa diperhatikan di gambar
ini. Daerah berwarna ungu adalah kawasan di mana ada pangkalan militer AS.
Tapi,
dalam kasus Iran ,
memperhatikan kalkulasi hard
power saja tidak
cukup. Sebabnya adalah karena kunci kekuatan Iran justru di soft power-nya. Dan
ini sepertinya diabaikan oleh banyak analis Barat, mungkin sengaja, atau
mungkin juga ketidaktahuan. Dalam papernya di The
Iranian Journal of International Affairs, Manouchehr
Mohammadi (Professor Hubungan Internasional dari Tehran University) menyebutkan
bahwa kemampuan Republik Islam Iran untuk bertahan hingga hari ini adalah
bergantung pada faktor-faktor yang sangat langka ditemukan dalam masyarakat
Barat yang materialistis, yaitu faktor-faktor spiritual. Tentu saja, faktor hard power tetap diperhatikan oleh Republik Islam
Iran ,
namun basisnya adalah soft
power.
Apa itu soft
power? Secara ringkas bisa dikatakan bahwa subtansi soft poweradalah
sikap persuasif dan kemampuan meyakinkan pihak lain; sementara hardpower menggunakan kekerasan dan pemaksaan
dalam upayanya menundukkan pihak lawan. Karena itulah, menurut Mohammadi, dalam soft power,
mentalitas menjadi kekuatan utama dan investasi terbesar yang dibangun Iran adalah
membangun mental ini, bukan membangun kekuatan militer. Pemerintah Iran berusaha
untuk menumbuhkan nilai-nilai bersama, antara lain nilai tentang kesediaan
untuk berkorban dan bekerja sama dalam mencapai kepentingan nasional.
Mohammadi mengidentifikasi ada 10 sumber kekuatan soft power Iran,tiga diantaranya adalah sebagai
berikut.
1. Rahmat
Tuhan.
Faktor Tuhan memang jarang
disebut-sebut dalam analisis politik. Tapi, kenyataannya, memang inilah yang
diyakini oleh rakyat Iran, dan inilah sumber kekuatan mereka. Menurut
Mohammadi, bangsa Iran percaya bahwa orang yang berjuang melawan penentang
Tuhan, pastilah dibantu oleh Tuhan. Dengan kalimat yang indah, Mohammadi
mendefinisikan keyakinan ini sebagai berikut, “Kenyataannya, mereka [yang
berjuang di jalan Allah] bagaikan tetesan air yang bergabung dengan lautan
luas, lalu menghilang dan menyatu dalam lautan, kemudian menjelma menjadi
kekuatan yang tak terbatas.”
Keyakinan ini
semakin kuat setelah bangsa Iran pasca Revolusi terbukti berkali-kali meraih
kemenangan dalam melawan berbagai serangan dari pihak musuh, mulai dari invasi
Irak (yang didukung penuh oleh AS, Eropa, Arab, dan Soviet), hingga berbagai
aksi terorisme (pengeboman pusat-pusat ziarah, pemerintahan, dan aparat
negara). Salah satu kejadian yang dicatat dalam sejarah Iran adalah kegagalan
operasi rahasia Angkatan Udara AS untuk memasuki Teheran. Pada tahun 1980,
Presiden AS Jimmy Carter mengirimkan delapan helicopter dalam Operasi Eagle
Claw. Misinya adalah menyelamatkan 52 warga AS yang disandera para mahasiswa
Iran di Teheran. Operasi itu gagal ‘hanya’ karena angin topan menyerbu kawasan
Tabas, gurun tempat helikopter itu ‘bersembunyi’ sebelum meluncur ke Teheran.
Angin topan dan pasir membuat helikopter itu saling bertabrakan dan rusak
parah. Mengomentari kejadian ini, Imam Khomeini mengatakan, “Pasir dan angin
adalah ‘pasukan’ Allah dalam operasi ini.”
2. Kepemimpinan
dan Otoritas
Peran
kepemimpinan dan komando adalah faktor yang sangat penting dalam situasi
konflik, baik itu militer, politik, atau budaya. Pemimpin-lah yang menjadi
penunjuk arah dalam setiap gerakan perjuangan. Dialah yang menyusun rencana dan
strategi untuk berhadapan dengan musuh. Menurut Mohammadi, hubungan yang erat
dan solid antara pemimpin dengan rakyatnya adalah sumber power yang sangat
penting. Di Iran, karena yang menjadi pemimpin adalah ulama yang memiliki
kredibilitas tinggi, kepatuhan kepada pemimpin bahkan dianggap sebagai sebuah
gerakan relijius, dan inilah yang menjadi sumber utama kekuatansoft
power Iran. Dalam
kalimat Mohammadi, “[it] is a source of power per se, that assures the friends
and frightens the foes.”
3.
Mengubah Ancaman Menjadi Kesempatan
Revolusi Islam
Iran telah menggulingkan Shah Pahlevi yang didukung penuh oleh Barat.
Pra-revolusi Islam, Barat sangat mendominasi Iran, baik dari sisi ekonomi,
politik, maupun budaya. Kepentingan Barat di Iran terancam oleh naiknya seorang
ulama yang menyuarakan independensi dan sikap anti kapitalisme-liberalisme,
yaitu Imam Khomeini. Karena itulah, Barat dengan berbagai cara berusaha
menggulingkan pemerintahan Islam, antara lain dengan memback-up Saddam Husein
untuk memerangi Iran. Saddam yang sesumbar bisa menduduki Teheran hanya dalam
sepekan, ternyata setelah berperang selama 8 tahun tetap tidak mampu
mengalahkan Iran. AS dan Eropa kemudian menerapkan berbagai sanksi dan embargo;
berusaha meminggirkan Iran dalam pergaulan internasional, mempropagandakan citra
buruk terhadap pemerintahan Islam, dll.
Karena
didasari oleh dua faktor sebelumnya (keyakinan pada rahmat Tuhan dan faktor
kepemimpinan relijius), bangsa Iran mampu bertahan hidup dalam situasi yang
sulit dan berjuang untuk mengubah tekanan dan ancaman ini menjadi kesempatan
untuk maju dan berdikari. Contoh mutakhirnya adalah, ketika akhir-akhir ini
semakin marak pembunuhan terhadap pakar nuklir Iran yang didalangi oleh
agen-agen rahasia asing; jumlah pendaftar kuliah di jurusan teknik nuklir
justru semakin meningkat. Inilah jenis mental yang berhasil dibangun oleh
pemerintah Iran selama 34 tahun terakhir: semakin ditekan, semakin kuat
semangat perjuangan mereka.
Dalam pidato terbarunya di Teheran, pemimpin tertinggi Iran,
Ayatullah Khamenei, menyinggung masalah ini. Beliau mengatakan, “Ketika kita
diembargo, kemampuan kita justru semakin meningkat, potensi kita justru semakin
terasah, kita tumbuh dari dalam. Jika kita tidak diembargo senjata, hari ini
kita tidak akan mencapai kemajuan yang mengagumkan. Jika kita tidak diembargo
dalam pengembangan nuklir –padahal reaktor nuklir Bushehr itu mereka [Barat]
yang membangunnya—hari ini kita tidak memiliki kemampuan dalam pengayaan
uranium,. Jika mereka tidak menutup pintu-pintu ilmu dari kita, hari ini kita
tidak akan mampu menciptakan stem
cell, menguasai ilmu antariksa dan mengirim satelit ke angkasa
luar. Karena itu, semakin mereka mengembargo kita, semakin besar kita mampu
menggali kemampuan dan potensi kita sendiri. Dan semakin hari, potensi kita itu
akan semaki mekar berkembang. Karena itulah, embargo sesungguhnya bermanfaat
bagi kita.”
Belajar dari Iran, kita perlu mengajukan pertanyaan, bagaimana
dengan Indonesia hari ini? Faktor kepemimpinan yang lemah dan lebih
mendahulukan membeli pesawat produk luar negeri jelas faktor yang sangat
melemahkan soft power Indonesia. Namun sebagai bangsa, kita
masih memiliki kekuatan untuk membangun dari dalam, dimulai dari diri sendiri,
yaitu membangun kekuatan dan keyakinan spiritual; membangun etos perjuangan
berbasis relijiusitas.
Dina Y. Sulaeman
*penulis
adalah alumnus magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
(http://dinasulaeman.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar