"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Jumat, 16 November 2012

Tauhid Ahmadinejad dan Bung Karno


Mengapa Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, tidak gentar dengan Barat? Pidatonya saat membuka World Conference on Youth and Islamic Awakening (29/1) memberikan sedikit latar. Kesempatan berharga penulis mengikutinya kata per kata secara langsung. Di hadapan ribuan pemuda dari 80-an negara berpenduduk muslim berbagai mazhab di seluruh dunia, Ahmadinejad menyampaikan paparan filosofis mengapa bangsa-bangsa harus bangkit (awakening) melawan tirani. 

Ada beberapa aspek dalam diri dan kebijakannya yang kontroversial, tapi beberapa esensi dalam pidatonya kali ini mengingatkan penulis pada Bung Karno dalam posisinya tentang keberagamaan dan kekritisannya terhadap asing.


Allah menciptakan alam semesta, menurut Ahmadinejad, untuk melayani manusia. Sebab manusia merupakan makhluk Tuhan paling mulia, representasi Tuhan, dan refleksi nilai-nilai ketuhanan. Manusia manifestasi terbaik Tuhan di muka bumi. Tuhan mengkongratulasi diri-Nya dengan menciptakan manusia.

Misi utama manusia adalah perfeksi (penyempurnaan) dan salvasi (penyelamatan). Argumentasi utama kehadiran manusia adalah untuk mewujudkan atribut-atribut ketuhanan.

Misi tersebut dapat dicapai dengan dua faktor. Pertama, keadilan. Keadilan merupakan faktor fundamental. Tanpa keadilan, kebenaran dan kemuliaan manusia akan mati. Para nabi terdahulu telah berusaha sekuat tenaga menggerakkan manusia ke arah penyempurnaan dan penyelamatan. Mereka gigih berjuang menegakkan keadilan. Sebab tanpa keadilan, tidak ada nilai ketuhanan yang bisa diwujudkan.

Kedua, kebebasan. Manusia diciptakan sebagai makhluk merdeka. Mereka dapat membuat pilihan. Mereka bebas menentukan nasibnya sendiri. Tanpa kebebasan, manusia juga tidak bisa mewujudkan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan yang melekat dalam diri mereka.

Dua faktor tersebut dapat direalisasikan melalui dua nilai fundamental. Satu, monoteisme. Kepercayaan kita pada satu Tuhan akan memandu kita pada perilaku adil. Berbagai agama semitik sesungguhnya berhulu pada Tuhan yang sama. Musa, Ibrahim, Isa, dan Muhammad, semuanya adalah utusan Tuhan. Mereka membawa agama Tuhan. Maka semua pemeluk agama harus bersatu untuk menegakkan keadilan, bukan saling memusuhi satu sama lain.

Dua, cinta dan kasih sayang sesama manusia. Kita tidak bisa merealisasikan keadilan dan kebebasan tanpa adanya cinta dan kasih sayang antar sesama. Para nabi utusan Tuhan merupakan manifestasi kemanusiaan: manusia sebagai representasi nilai-nilai ketuhanan. Mereka semuanya menebarkan cinta dan kasih sayang. Maka cinta terhadap sesama harus dimaknai sebagai cinta terhadap kesempurnaan Tuhan, cinta kepada Tuhan.

Faktanya, misi penciptaan manusia, misi para nabi, untuk mewujudkan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan belum tercapai. Sebab, keadilan dan kebebasan itu belum terwujud. Penyebabnya adalah adanya kelompok-kelompok selfish, hegemonik, imperialis, dan arogan yang menghalangi manusia untuk mencicipi keadilan, harga diri, juga kepercayaan mereka. Mereka berada di dua level kekuasaan: lokal dan global.

Kelompok itu mengontrol pemerintahan lokal negara-bangsa. Mereka mengendalikan sumber daya dan kekayaan alam yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Mereka menjadi tirani. Sekelompok orang menjadi penghalang terwujudnya filosofi penciptaan makhluk: manusia dan semesta.

Merekalah musuh sejati kemanusiaan. Mereka musuh pemeluk agama-agama. Umat beragama mesti bersatu melakukan perlawanan atas tirani tersebut. Mereka harus bangkit untuk tegaknya keadilan dan kebebasan.

Begitulah tauhid Ahmadinejad. Tauhid yang menjadi essence untuk mempersatukan manusia, mengikat suatu bangsa dari beragam latar agama. Revolusi umat beragama negara-bangsa apapun adalah revolusi melawan tirani global, yaitu zionisme dan imperium global Amerika Serikat, atau pemerintahan lokal yang menjadi komprador dan dikontrol mereka. Sebab mereka semua menghalangi manifestasi filosofi penciptaan makhluk (alam dan manusia). Maka wajar bila Iran memiliki hubungan mesra dengan Venezuela atau Bolivia. Mereka punya garis pijak yang sama di hadapan musuh kemanusiaan.

Dalam horizon filosofis demikian, relevan untuk mengingat ulang “doktrin” Bung Karno tentang ketuhanan dan Trisakti. Dalam proses perumusan Pancasila pada sidang BPUPKI, Bung Karno menegaskan tentang ketuhanan sebagai “sila jangkar” Pancasila. Pada pidato 1 Juni 1945 tersebut, Bung Karno berujar lugas: “…Marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama…”

“…Marilah kita di Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain… Disinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat sebaik-baiknya…”

Itulah tauhid fungsional Bung Karno. Monoteisme para penghamba Tuhan di Indonesia, menurut Bung Karno, mestinya jadi energi yang mempersatukan mereka. Mereka berada di jalan yang sama untuk memanifestikan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan (divine values and attributes). Sesama pemeluk agama memiliki space yang sama untuk menyemai kebajikan-kebajikan ketuhanan (divine virtues) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.

Bila merujuk Bapak Pendiri Bangsa tersebut, kita seharusnya menyesal menyaksikan situasi keberagamaan kontemporer. Para pemeluk agama lebih sibuk mengurusi teologi dan bahkan sekedar ritus pemeluk agama lainnya, alih-alih bersatu memerangi musuh kemanusiaan: tiran yang merintangi perwujudan filosofi penciptaan makhluk. Pemuka agama di suatu daerah lebih sering berfokus mengupayakan agar pemeluk agama berbeda memeluk agamanya, daripada berjuang agar kekayaan alam yang diciptakan Tuhan di daerah itu betul-betul diperuntukkan bagi kesejahteraan manusianya.

Bangsa yang terdiri dari manusia-manusia beragama mestinya bersatu untuk membela misi Tuhan menciptakan manusia dan semesta. Konkritnya, menurut Bung Karno, dengan cara sekuat tenaga menegakkan tiga kesaktian bangsa, Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Sudah terwujudkan Trisakti itu? Belum. Maka hindari “perang” antar sesama. Agenda mendesak kita, “jihad” menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan, mewujudkan keadilan, dan kebebasan kita untuk sejahtera oleh kekayaan alam ciptaan Tuhan untuk kita. Untuk alasan itu, Ahmadinejad kini dan Bung Karno dulu, keras melawan intervensi asing!


*Halili Hasan
(kompasiana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar