Saya merasa beruntung karena pernah menyentuh pipi Ahmadinejad kemudian menyentuh janggutnya. Saya hendak menciumnya, namun tak kuasa karena semua orang di sekitarku hendak menciumnya pula. Namun saya sungguh bahagia karena bisa menyentuh pipi pria yang –konon katanya– adalah manusia yang paling dibenci Amerika Serikat.
Saya ingin mengisahkannya secara singkat. Suatu hari di tahun 2006, saya ditugaskan seorang redaktur di Palmerah untuk meliput kedatangan Presiden
Saya membayangkan suasana keprotokoleran yang ketat seperti halnya ketika Presiden SBY atau Wapres Boediono berkunjung. Ketika mereka melintas, maka barisan paspampres akan melindungi mereka dari segala sisi, seolah mereka adalah sosok yang harus steril dari manusia jelata di sekitarnya. Saat itu, saya juga membayangkan ketatnya orang di sekitar Ahmadinejad yang akan melindunginya seperti yang saya rasakan ketika meliput pembebasan Abu Bakar Ba’asyir di LP Salemba. Semua orang sekitar Ba’asyir melarang jurnalis mendekati sosok itu. Ketika sejumlah wartawan bule hendak wawancara, maka para santri yang mengelilingi Ba’asyir langsung berteriak, “Mister.. don’t touch…” Dalam hati saya bergumam, siapa sih yang mau nyentuh?’
Makanya, saya agak ogah-ogahan disuruh meliput Ahmadinejad. Namun, semua bayangan itu sontak buyar ketika saya melihat langsung sosok pria itu. Sosok itu tidak seberapa tinggi. Pakaiannya cuma kemeja putih dengan jas lusuh. Ia berjalan diiringi sejumlah orang.
Bersama para jurnalis lainnya, saya berdiri di sisi kanan masjid. Saya menyiapkan kamera dan beberapa kali memotretnya ketika salat belum dimulai. Masjid Istiqlal luar biasa penuh dengan ribuan jamaah yang datang dari berbagai penjuru
Saya mengira ia akan salat dengan posisi tangan yang tidak bersedekap sebagaimana salat dalam mazhab ahlul bayt. Ternyata ia salat dengan posisi tangan tetap bersedekap sebagaimana para pengiringnya. Usai salat Jumat, saya mengamati bagaimana ia berdoa sembari sesunggukan. Di masjid yang besar itu, pria
Usai berdoa, ia lalu berdiri dan hendak beranjak. Namun ribuan jamaah di masjid itu tiba-tiba berteriak “Allaaaaaahhuuu Akbar….!!!! Allaaaahhhuu Akbar…!!!! Speech….!!! Semuanya histeris dan menyuruh Ahmadinejad berbicara. Masjid itu bergemuruh ketika ribuan suara di masjid itu berteriak menyebut namanya. Saya belum pernah melihat orang-orang histeris menyebut nama seseorang hingga histeris. Jika ini terjadi di
Saat melihat antusiasme yang meluap-luap itu, Ahmadinejad lalu mengambil mike dan berbicara. Semuanya kembali gemuruh. Ia berpidato dalam bahasa Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sorot matanya tegas saat berpidato dengan sedikit berteriak. Saya tak bisa mendengarkan dengan baik apa kalimatnya. Setiap ia berbicara, masjid itu kembali gemuruh dengan teriakan histeris semua orang-orang yang mengelu-elukannya. Semuanya mengepalkan tangan ke udara sambil meneriakkan Allahu Akbar!!! Hari itu Ahmadinejad adalah bintang bersinar yang seolah menjadi jawab atas kerinduan semua orang tentang sosok sederhana yang mendedikasikan hidupnya hanya di jalan Tuhan demi menerabas kelaliman. Hari itu saya menyaksikan seorang pahlawan yang setiap kata-katanya adalah getar yang dirindukan dengan dahsyat di sanubari mereka yang terbiasa mengenyam nestapa, mereka yang dalam dirinya ada keinginan kuat yang menggebu untuk melihat agama dibumikan dalam semangat perlawanan pada angkara murka. Pria itu seolah suara masa silam yang berani dan menuding mereka di masa kini yang menyimpang dari jalan Tuhan.
Ia berpidato hanya sekitar sepuluh menit. Saya lalu bergerak bersama jamaah dan merangsak maju hendak menyentuhnya. Ia berhenti sesaat dan mengizinkan orang-orang mencium pipi dan menyentuh janggutnya. Ini momen luar biasa bagiku. Saya ikut merangsak hingga menyentuh pipinya. Saya menyentuh janggutnya yang basah karena menangis saat melihat semua orang mendekat. Saya ingin mencium pipinya. Tetapi semua orang di situ langsung memeluknya. Segera pengawalnya membawa pria itu keluar dari histeria massa. Ia lalu pergi sambil tak henti melambai. Saya terduduk sambil menciumi tanganku yang tadi menyentuhnya. Di saat Ahmadinejad menjauh, saya terngiang kalimatnya kepada Presiden Bush. Sebuah kalimat yang bergema hingga ke berbagai relung hati. “Tuan Presiden, Tuan mungkin tahu saya seorang guru. Murid-murid saya bertanya bagaimana tindakan-tindakan [Amerika] dipertautkan dengan nilai-nilai…yang dibawakan Yesus Kristus, nabi perdamaian dan permaafan….” Pria ini bicara tentang ajaran cinta Kristus dan bagaimana ajaran itu seakan lenyap di masa kini.
Kalimat pria itu menggoreskan sesuatu di hatiku. Ketika ia pergi, semua anggota FPI dan jamaah lainnya langsung berdemonstrasi di Kedubes Amerika. Saya hanya bisa memandangi mereka. Saat itu, saya rasakan ada sesuatu yang basah di pipiku. Ternyata, mataku ikut basah.(*)
Yusran Darmawan
(kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar