Ketua Tim Non-Litigasi Uji Materi UU No 22/2001 tentang Migas ke Mahkamah Konstitusi, Adhie Massardi, menilai Perpres No 95 Tahun 2012 merupakan 'grasi' yang membebaskan orang-orang BP Migas untuk terus menjalankan aksinya, dalam baju berbeda.
"Gugatan kami
atas UU Migas (No 22/2001) yang dikabulkan MK RI adalah
pasal yang memberikan kewenangan kenegaraan atas pengelolaan minyak dan gas
bumi kepada BP Migas, yang bisa langsung berhubungan dengan pihak
pebisnis swasta (asing maupun dalam negeri)," katanya di Jakarta , Minggu (18/11).
Padahal menurut konstitusi, migas harus dikelola oleh BUMN. Dengan ditarik ke Kementeriaan ESDM (sesuai Perpres tsb), maka subtansinya menjadi tidak berubah, malah cenderung makin kokoh dikuasai langsung negara, ujarnya.
Lebih lanjut Adhie menjelaskan putusan MK RI No 36/PUU-X/2012 ibarat vonis mati bagi terdakwa BP Migas yang harus segera dieksekusi karena telah sekian lama melakukan kejahatan terhadap negara.
Sementara itu Perpres No 95 Tahun 2012 yang dikeluarkan Presiden Yudhoyono petang harinya, merupakan 'grasi' yang membebaskan (orang-orang) BP Migas untuk terus menjalankan aksinya, dalam baju berbeda.
Adhie menilai, langkah Presiden yang langsung memayungi gerak-langkah (eks) BP Migas dengan Perpres itu, menyalahi dua hal. Pertama, Presiden tidak memahami substansi masalah gugatan dan keputusan MK tentang pembubaran BP Migas.
Kedua, Presiden telah melakukan 'abuse of power', penyalahgunaan wewenang.
Dalam keputusannya, MK memang menyatakan, "Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dilaksanakan oleh pemerintah Cq kementerian terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut."
Menurut Adhie, konteks pernyataan MK itu harus dibaca sebagai 'mengawasi apa yang sudah dilakukan BP Migas' dan bukan menjalankan fungsi kelanjutannya, seperti membuat kontrak-kontrak baru, dsb.
"Kalau toh mau begitu, Presiden wajib membicarakan langkah-langkahnya itu dengan parlemen. Sebab yang merepresentasikan negara menurut konstitusi itu, eksekuif dan legislatif. Bukan pemerintah semata. Ini yang membuat Presiden jadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam mengambil kewenangan sepihak atas kelanjutan BP Migas yang dibubarkan," kata Adhie.
Menurut Adhie yang juga koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, seharusnya pemerintah dan parlemen membubarkan dulu BP Migas. Dan sebelum tugas rutinnya dilanjutkan di bawah kementeriaan ESDM, BP Migas diaudit terlebih dulu, baik kinerja maupun penggunaan keuangannya.
Sebab, menurut Adhie, selama ini, BP Migas disinyalir menjadi sarang mafia minyak dan gas bumi di negeri ini. "Selain mekanisme kontrak-kontrak karya dengan pihak asing yang tidak transparan, penggunaan 'cost recovery' juga banyak bermasalah," katanya.
(rimanews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar