Rencana dan
pelaksanaan hibah itu sendiri tak pernah dibahas dan bahkan belum mendapat
persetujuan DPR seperti disyaratkan UU.
Anggota Komisi XI DPR Rieke Dyah Pitaloka mendesak transparansi bantuan Pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia sebesar USD 28 juta (sekitar Rp 266 miliar), sebab uang itu dicurigai bermuatan motif tertentu.
Seperti diketahui, Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, di Jakarta, Senin (3/9), mengakui Amerika Serikat, lewat United States Agency for International Development (USAID), menggelontorkan hibah senilai USD 28 juta untuk program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) di Kementrian Kesehatan.
Dia menyebutkan program itu bertujuan hanya untuk membantu program kesehatan, utamanya menurunkan Angka Kematian Ibu melahirkan.
Anggaran tersebut akan langsung dialirkan ke pengelola proyek EMAS di 30 wilayah Kabupaten dan 6 provinsi yakni Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dalam pelaksaannya, Kementerian Kesehatan akan bekerjasama dengan JHPIEGO, Research Triangle Institute, Save the Children, Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan, dan Muhammadiyah.
Nafsiah mengklaim, tujuan program, yang diumumkan bersamaan dengan kedatangan Menlu AS Hillary Clinton dan debat tentang RPP Tembakau, murni bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu hingga 25 persen.
Namun bagi anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, hibah dari AS itu tak jelas dan pantas dicurigai.
"Mana ada makan siang yang gratis, pasti ada kepentingan di baliknya. Dan karena prosesnya tak transparan, kecurigaan semakin kuat," kata Rieke, di Jakarta, Selasa (4/9).
Rieke menjelaskan, walau hibah itu disebut sebagai bagian dari program kementerian itu, namun hal itu tak benar-benar terjadi. Sebab dana hibah langsung digelontorkan kepada LSM-LSM itu tanpa melalui Kementerian Kesehatan.
Rencana dan pelaksanaan hibah itu sendiri tak pernah dibahas dan bahkan belum mendapat persetujuan DPR seperti disyaratkan UU.
"Bahkan disampaikan di Komisi IX juga tidak. Baru kali ini dibahas, itupun setelah anggaran cair," kata Rieke.
Dana itu langsung dialirkan dari Usaid, dan masuk ke daerah-daerah yang dianggap daerah dengan tata kelola kesehatan yang baik.
"Kriteria pemberian itupun tak jelas. Karena kalau kita cek satu-persatu daerah yang diberi dana itu, sebetulnya bermasalah juga dari sisi tata kelola kesehatan," tegas Politisi PDI Perjuangan itu.
Dia melanjutkan bahwa target pemberian utang dari AS itu adalah demi menurunkan kematian ibu dan bayi. Anehnya, kata dia, penerima dana itu hanya akan memonitor pelaksanaan jaminan persalinan (Jampersal), yang merupakan program pemerintah dengan menggunakan dana APBN.
"Kok monitoring Jampersal? Padahal
"Apa kompensasi dari bantuan sebanyak itu? Apalagi pemerintah tidak dilibatkan langsung, bagaimana mekanisme pengawasannya? Data apa yang "ditukar" demi uang itu?".
Rieke mengakui bahwa kecurigaan DPR itu berdasar pada pengalaman operasional laboratorium kesehatan AS, Namru, di Indonesia. Laboratorium itu awalnya ditujukan untuk membantu penanganan wabah demam berdarah di
Namun belakangan Namru diduga menjadi alat spionase sekaligus alat mengumpulkan data-data kesehatan. Untuk yang terakhir ini, diduga data-data kesehatan digunakan demi kepentingan industri farmasi AS dan produksi senjata biologis.
"Bicara isu kesehatan dalam percaturan politik era sekarang, bukan sekedar soal rakyat sehat. Tapi substansi penting juga adalah isu kesehatan merupakan isu ketahanan sekaligus pertahanan sebuah negara," katanya.
(beritasatu.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar