"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Sabtu, 21 Juli 2012

Seperti Sukhoi bagi Rusia, Dirgantara Indonesia harus Jadi Kebanggaan Nasional


Sebuah pesawat komersial buatan Rusia menabrak tebing di kawasan Gunung Salak Bogor pada Rabu 9 Mei. Peristiwa ini memunculkan banyak teka-teki yang belum terjawab hingga kini.

Direktur Global Future Institute menilai terlalu dini menyebut kecelakaan ini sebagai murni kerusakan teknis atau human error. "Yang harus diwaspadai justru kemungkinan ada sabotase yang dilakukan pihak tertentu di balik peristiwa ini," kata Hendrajit, Rabu (16/5).

"Bagi Rusia, Sukhoi merupakan kebanggaan nasional. Kita pun juga harus demikian, Dirgantara Indonesia harus menjadi kebanggaan nasional bangsa Indonesia," pungkasnya.

Selengkapnya simak wawancara spesial Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Hendrajit, Direktur Global Future Institute mengenai "Perang Global di balik Kecelakaan Sukhoi" di Gunung Salak, Bogor.  Bagaimana pandangan Anda, apakah kecelakaan ini disebabkan masalah teknis atau human error ?

Terlalu awal kalau mau dikatakan demikian. Persoalannya, saat ini berkembang beberapa spekulasi kemungkinan mengenai masalah ini. Pertama, mungkin itu murni kecelakaan seperti pesawat-pesawat lain. Atau ada kesalahan teknis maupun kesalahan pilot juga bisa. Tapi juga yang mulai mempertanyakan kemungkinan adanya indikasi semacam pembajakan dalam kejadian kecelakaan Sukhoi.

Ini memang yang harus diselidiki. Yang menjadi kunci saat ini mengenai tim investigasi Indonesia dan Rusia. Yang menarik dari kejadian itu, hanya selang sehari Perdana Menteri Medvedev dan Presiden Putin langsung mengotorisasi sebuah tim investigasi. Ini harus diingat, ada frase "Tim Investigasi dan special commission, dan itu sifatnya sangat tidak teknis, ini menunjukan ada sesuatu yang tidak beres dari kejadian ini.

Kalau Pak Hendrajit sendiri melihat masalah seperti apa?
Kalau kita melihat manuver Cina dan Rusia di kawasan Asia Tenggara bisa dibilang sudah bersenyawa sekarang. Ini yang gagal dibaca oleh Samuel Huntington dari AS ketika dia tidak memperhitungkan kesepakatan strategis Cina-Rusia pada tahun 2001 melalui Shanghai Cooperation Organisation. Jadi ini yang menjadi kecurigaan banyak kalangan di Jakarta. Tapi sayangnya, media massa justru tidak mengarahkan ke sana, bahwa Sukhoi menyangkut masalah Alutsista (alat utama sistem senjata). Jadi Sukhoi ini bisa menjadi alternatif di luar produk-produk militer AS dan negara Barat lainnya.

Dari dalam, masalah Sukhoi bukan dalam konteks angkutan komersial, tapi pada alat-alat militer yang mulai dipertimbangkan juga oleh pihak depertemen pertahanan. Jangankan Rusia, Cina pun malah bergerak lebih jauh lagi dilihat dari kerjasama dua kementerian mengenai alih teknologi industri pertahanan. Ini yang harus dilihat gambaran besarnya.

Dari kejadian kemarin, begitu banyak keganjilan-keganjilan yang terjadi serta misteri-misteri yang perlu diungkap mengenai perang global.

Belakangan hubungan Indonesia dengan Cina dan juga Rusia semakin erat. Apakah kecelakaan Sukhoi ini akan mempengaruhi hubungan tersebut, atau bagaimana sebenarnya?

Dalam intelejen ada istilah yang disebut dengan "Aksi destabilisasi", jika dalam kasus Sukhoi ini mengarah pada pembuktian terhadap keganjilan-keganjilan. Termasuk yang saya amati sendiri memang mengarah pada indikasi-indikasi adanya sabotase. Tapi yang harus dilihat adalah kita tidak boleh terperangkap pada foto kecil dari kejadian ini.

Sejatinya, kejadian besarnya bukan sekedar Sukhoi, Airbus, atau Boeing, karena inti dari aksi ini kalau saya lihat dalam konteks skema perang global adalah kekhawatiran bahwa Sukhoi bisa menjadi alternatif alat utama peralatan militer atau Alutsista yang memang dipertimbangkan. Sebetulnya kalau dilihat, itu kan Joy flight. Bukan perjalanan, tapi test uji coba.

Sejumlah kalangan, melihat fenomena ini menjadi momentum naiknya kembali industri dirgantara nasional yang pernah melejit di era Habibie. Kini sudah waktunya dinaikan lagi dengan dorongan kebijakan pemerintah. Bagaimana Anda menyorotinya ?

Sebetulnya bagi Indonesia peristiwa ini banyak hikmahnya terutama bagi PT Dirgantara Indonesia. Dari dulu memang diharapkan PT DI mampu bersaing dengan produk-produk asing. Tapi problemnya terletak pada alih teknologi. Amerika dan negara Barat lainnya cenderung memblokir, makanya kita coba jalan lain. Kali ini, Cina kita coba menjadi alternatif yang menjanjikan, walaupun masih di sektor pertahanan. Dan diharapkan alih teknologi terjadi di sektor dan bidang lain. Dalam pertemuan tahun lalu di Asia-Pasific Business Council, Rusia dan Cina bersepakat untuk memberi ruang bagi alih teknologi itu, dan itu saya lihat beritanya diblokir juga oleh pihak Barat.

Jadi dalam hal ini, kasus Sukhoi dan lainnya harus dilihat sebagai aksi destabilisasi, entah dari sumber mana. Itu soal penyelidikan lebih jauh. Tapi dengan melihat gejalanya ini memang diharapkan akan ada setback. Tapi apakah memang harapan itu kedepannya terjadi. Gejalanya sekarang malah kontraproduktif. Sekarang sudah muncul, misalnya seperti yang dilakukan salah satu stasion TV, malah jadi kayak iklan gratis, "Jangan beli di luar Airbus dan Boeing" dengan menunggangi kasus kecelakaan Sukhoi. Justru menurut saya jadi kontraproduktif.

Kembali menengok perusahaan Dirgantara Indonesia. Apakah memang saat ini sudah siap dan bisa diandalkan untuk bersaing dengan negara lain, terutama perusahaan industri penerbangan terkemuka dunia seperti Airbus, Boeing, Pokker, Xian, Embaer ?

Problem penerbangan kita ini kelihatannya ada persoalan. Menurut saya terjadi masalah di sektor hulu. Ada satu mind set yang bukan hanya sekedar miss management, tapi ada satu policy yang memang tidak terintegratif soal strategi industri dengan menyatupadukan skema strategi ekonomi nasional, politik pertahanan, dengan politik luar negeri.

Ini mau tidak mau harus disinkronkan, apalagi dengan pelajaran-pelajaran kejadian kemarin ini yang menunjukkan bahwa Dephan pun dalam mencoba mempriotitaskan penyediaan peralatan militernya bukan dengan dasar melihat dulu apa pola ancaman dan trend global, dan baru kemudian membikin prioritas peralatan apa yang dibutuhkan.

Saya lihat juga di industri-industri lain demikian, termasuk di PT Drigantara Indonesia. Kalau menurut saya, itu dulu yang harus ditata. Kalau soal infrastruktur saya kir, PT Dirgantara Indonesia cukup mapan. Tenaga ahli kita siap, dan aspek lainnyapun demikian. Tapi kalau itu tidak didukung oleh kebijakan hulu dan mengandalkan ego sektoral, maka kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah industri penerbangan nusantara.

Jadi, masalahnya adalah kebijakan di sektor hulu ya ?

Kebijakan harus lebih strategis. Jadi industri itu mau diapain sebagai kekuatan strategis pemberdayaan nasional. Yang menarik adalah statemen otoritas Rusia sendiri sebagaimana ditulis oleh salah satu staf Global Future Institute sendiri bahwa ini bukan sekedar tahu tapi sudah menjadi sebuah priority project bahwa Sukhoi ini menjadi kebanggaan nasional, dan kitapun juga harus demikian dengan Dirgantara Indonesia


(indonesian.irib.ir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar