Jika Anda seorang muslim, pada usia berapa Anda belajar membaca Al Quran, dan
berapa juz yang Anda hafal? Umumnya anak-anak muslim di Indonesia mulai belajar
mengaji pada usia sekolah dasar. Dulu, orang tua memanggil ustadz/ustadzah ke
rumah untuk mengajar anak-anaknya mengaji. Namun kini, seiring maraknya Taman
Pendidikan Al Quran (TPA) dan ditemukannya metode belajar cepat baca Al Quran,
orang tua memasukkan anak-anaknya ke TPA untuk belajar membaca dan menulis Al Quran.
Hasilnya, anak-anak muslim saat ini sudah banyak yang melek huruf Al Quran dan
hafal juz amma (juz 30), yang terdiri dari surah-surah pendek yang mudah
dihafal. Tapi tak banyak produk TPA yang menjadi hafiz (penghafal Al Quran),
karena TPA tidak didesain untuk mencetak hafiz, dan program menjadi hafiz
biasanya ditangani pesantren-pesantren Al Quran.
Yang lebih mengagumkan lagi, di usia 7 tahun Husein berhasil meraih gelar doktor honoris causa dari Hijaz College Islamic University, Inggris, pada Februari 1998. Saat itu, Husein menjalani ujian selama 210 menit, dalam dua kali pertemuan. Ujian yang harus dilaluinya meliputi
Setelah ujian selesai, tim
penguji memberitahukan bahwa nilai yang berhasil diraih bocah itu adalah 93.
Menurut standar yang ditetapkan Hijaz College, peraih nilai 60-70 akan diberi
sertifikat diploma, 70-80 sarjana kehormatan, 80-90 magister kehormatan, dan di
atas 90 doktor kehormatan (honoris causa). Pada 19 Februari 1998, bocah Iran
tersebut menerima ijazah doktor honoris causa dalam bidang Science of The
Retention of The Holy Quran (hal 12-14).
Selama di Inggris, Husein juga diundang dalam berbagai majelis yang diadakan komunitas muslim setempat. Umumnya hadirin ingin menguji kemampuan bocah ajaib tersebut. Uniknya, Husein menjawab semua pertanyaan dengan mengutip ayat Al Quran. Contohnya, dalam satu forum seseorang bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang budaya Barat?” Husein menjawab, “(Mereka) menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya.” (QS 19:59).
Penanya lain bertanya, “Apa yang dilakukan Imam Khomeini terhadap
Membaca buku ini jangan hanya terpukau pada kemampuan ajaib seorang Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i, yang oleh orang
Untuk kasus Husein, proses pendidikan Al Quran telah dimulai sejak dia masih dalam kandungan. Orang tua Husein menikah ketika mereka masing-masing berusia 17 tahun, dan setelah menikah keduanya bersama-sama berusaha menghafal Al Quran. Tekad itu akhirnya tercapai enam tahun kemudian, ketika mereka berhasil menghafal 30 juz Al Quran. Dalam proses menghafal itu, keduanya membentuk kelompok khusus penghafalan Al Quran. Dalam kelompok itu, secara teratur dan terprogram, orang tua Husein dan rekan-rekannya yang juga berkeinginan untuk menghafal Al Quran, bersama-sama mengulang hafalan, mengevaluasi dan menambah hafalan. Orang tua Husein juga mendirikan kelas-kelas pelajaran Al Quran yang diikuti oleh para pencinta Al Quran.
Seiring dengan kegiatan
belajar dan mengajar Al Quran orang tuanya, Husein dan saudara-saudaranya
tumbuh besar. Husein sejak kecil selalu diajak ibunya untuk menghadiri
kelas-kelas Al Quran. Meskipun di kelas-kelas itu Husein hanya duduk
mendengarkan, namun ternyata dia menyerap isi pelajaran. Pada usia 2 tahun 4
bulan, Husein sudah menghafal juz ke-30 (juz amma) secara otodidak, hasil dari
rutinitasnya dalam mengikuti aktivitas ibunya yang menjadi penghafal dan
pengajar Al Quran, serta aktivitas kakak-kakaknya dalam mengulang-ulang hafalan
mereka. Melihat bakat istimewa Husein, ayahnya, Sayyid Muhammad Mahdi
Tabataba’i, pun secara serius mengajarkan hafalan Al Quran juz ke-29.
Setelah Husein berhasil
menghafal juz ke-29, dia mulai diajari hafalan juz pertama oleh ayahnya.
Awalnya, sang ayah menggunakan metode biasa, yakni membacakan ayat-ayat yang
harus dihafal, biasanya setengah halaman dalam sehari dan setiap pekan. Namun
ayahnya menyadari bahwa metode seperti itu memiliki dua persoalan. Pertama,
ketidakmampuan Husein membaca Al Quran membuatnya sangat tergantung kepada ayahnya
dalam mengulang-ulang ayat-ayat yang sudah dihafal.
Kedua, metode penghafalan
Al Quran secara konvensional ini sangat ‘kering’ dan tidak cocok bagi
psikologis anak usia balita. Selain itu, Husein tidak bisa memahami dengan baik
makna ayat-ayat yang dihafalnya karena banyak konsep-konsep yang abstrak, yang
sulit dipahami anak balita.
Untuk menyelesaikan
persoalan pertama, Husein mulai diajari membaca Al Quran , agar dia bisa
mengecek sendiri hafalannya. Untuk menyelesaikan persoalan kedua, ayah Husein menciptakan
metode sendiri untuk mengajarkan makna ayat-ayat Al Quran, yaitu dengan
menggunakan isyarat tangan. Misalnya, kata Allah, tangan menunjuk ke atas, kata
yuhibbu (mencintai) , tangan seperti memeluk sesuatu, dan kata sulh (berdamai),
dua tangan saling berpegangan.
Ayah Husein biasanya akan
menceritakan makna suatu ayat secara keseluruhan dengan bahasa sederhana kepada
Husein. Kemudian dia akan mengucapkan ayat itu sambil melakukan gerakan-gerakan
tangan yang mengisyaratkan makna ayat.
Metode ini sedemikian berpengaruhnya pada kemajuan Husein dalam menguasai ayat-ayat Al Quran sehingga dengan mudah dia mampu menerjemahkan ayat-ayat itu ke dalam bahasaPersia
dan mampu menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan sehari-hari (hal 21-26).
Metode ini sedemikian berpengaruhnya pada kemajuan Husein dalam menguasai ayat-ayat Al Quran sehingga dengan mudah dia mampu menerjemahkan ayat-ayat itu ke dalam bahasa
Pembaca juga perlu menyimak
pengakuan Sayyid Muhammad Mahdi Tabataba’i, yang menampik pendapat yang
mengatakan anaknya istimewa. Menurut Mahdi, Husein memiliki kemampuan di atas
rata-rata, dan setiap anak bisa saja dididik untuk memiliki kemampuan seperti
Husein. Namun, tentu saja, prakondisi dan kondisinya haruslah lengkap.
Misalnya, sejak sebelum masa kehamilan, kedua orang tua Husein sudah mulai
menghafal Al Quran. Selama masa kehamilan dan menyusui, ibunda Husein juga
teratur membacakan ayat-ayat suci untuk putranya. Dan sejak kecil Husein sudah
dibesarkan dalam lingkungan yang cinta Al Quran.
Ayahanda Husein juga
berpesan, bila orang tua menginginkan anaknya jadi pencinta Al Quran dan
penghafal Al Quran, langkah pertama yang harus dilakukan adalah orang tua
terlebih dahulu juga mencintai Al Quran dan rajin membacanya di rumah. Husein
sejak matanya bisa menatap dunia telah melihat Al Quran, mendengarkan bacaan Al
Quran, dan akhirnya menjadi akrab dengan Al Quran (hal 38-40).
Bila ditinjau dari usia
Husein saat ini yang sudah menginjak 16 tahun, buku ini terbilang terlambat
diterbitkan. Harusnya diterbitkan 9 tahun lalu, saat Husein berusia 7 tahun dan
meraih doktor honoris causa dari Hijaz College Islamic University.
Sekalipun tokoh yang
ditulis sudah bukan anak-anak lagi, namun buku ini tetap menarik untuk dibaca,
khususnya bagi keluarga muslim yang mendambakan generasi qurani, yang mencintai
Al Quran dan hidup sesuai tuntunan Al Quran.
Membaca buku ini bisa
menambah motivasi keluarga muslim untuk makin mencintai Al Quran. Bukan hanya
orang tua, anak-anak pun perlu membacanya karena teladan Husein bisa memotivasi
mereka makin giat belajar Al Quran. Syukur-syukur bisa menjadi hafiz cilik
seperti Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i.
Bagi para remaja, perlu
disimak pesan Husein tentang cara pandang seorang remaja terhadap Al Quran.
Menurut dia, pandangan seorang remaja terhadap Al Quran haruslah seperti
pandangan terhadap minyak wangi. Ketika kita keluar rumah, tentu kita selalu
ingin wangi dan menggunakan minyak wangi. Kita juga harus berusaha mengharumkan
jiwa dengan membaca dan menghayati Al Quran. Seorang remaja, kata Husein, harus
menyimpan Al Quran di dadanya supaya sedikit demi sedikit perilaku dan
pembicaraannya dipengaruhi oleh Al Quran.
(umatyangsatu.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar