teknologi nuklir tak seruwet perkara meyakinkan publik tentang
mukjizat teknologi nuklir.
"Soal teknologi, itu masih bisa kami atasi. Tapi penolakan masyarakat
ini yang susah," kata Hudi kepada SINDO Weekly, dua pekan silam.
Hudi benar. Jangankan masyarakat awam, pejabat sekelas anggota Dewan
Ekonomi Nasional Rinaldy Dalimi sekalipun masih menyangsikan kemampuan
ahli nuklir Indonesia. Pertengahan Mei, di Surabaya, Rinaldy yang
memiliki tugas merumuskan kebijakan energi nasional mengatakan
Indonesia hampir tak mungkin membangun PLTN.
Pakar teknik elektro asal Universitas Indonesia itu lebih melirik
panas bumi dan energi nabati sebagai potensi terbesar Indonesia
setelah bahan bakar fosil makin menipis. Nuklir? "Tak masuk hitungan,"
katanya.
"Untuk energi terbarukan kita memiliki semua bahan sehingga banyak
negara mengatakan Indonesia biofield-nya Arab Saudi. Nuklir tidak
termasuk dalam hal itu," katanya kepada Oki Akbar dari SINDO Weekly,
Senin pekan ini.
Ada sederet alasan mengapa Rinaldy memandang nuklir sebelah mata.
Salah satunya, dia bilang Indonesia masih jauh dari kelas para
penguasa nuklir. "Kita tidak punya potensi, tidak punya teknologinya.
Maka secara rasional, tak ada alasan lagi untuk membangun PLTN,"
katanya.
Karena itu, menurut Rinaldy, PLTN bagi Indonesia berisiko tinggi dan
mahal. Kecelakaan nuklir di Fukushima, Jepang, bisa menjadi pelajaran
bagi Indonesia yang juga rawan gempa dan tsunami.
Meskipun teknologi nuklir semakin aman, ada faktor kesalahan manusia
dan alam. Apalagi, reaktor berteknologi tinggi bukan barang murah.
"Untuk membangun desain, alat, dan sistem kontrol bagus serta tahan
gempa memerlukan biaya sangat mahal. Apakah pemerintah kita mampu?"
tanya Rinaldy tak yakin.
Pakar desain dan keselamatan PLTN Zaki Su'ud jelas tak sependapat. Dia
bilang pemilihan lokasi memegang peranan penting.
PLTN bisa dibangun di daerah tak rawan gempa seperti sebelah timur
Sumatera, Bangka, utara Jawa, dan Kalimantan.
Soal SDM di bidang nuklir, Zaki tak ragu menyebut Indonesia yang
terbaik di Asia Tenggara.
Indonesia sudah lebih daripada 40 tahun merawat reaktor riset. Dan
ternyata aman-aman saja, kendati reaktor riset jauh lebih sulit
daripada PLTN. Inilah bukti SDM Indonesia cakap dan berdisiplin
tinggi.
"Itulah mengapa saya melihat Indonesia memiliki potensi besar
menggunakan energi nuklir," ungkapnya.
Zaki tak menampik potensi besar panas bumi dan energi nabati. Tapi
Doktor Teknik Nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology itu
mengingatkan energi nabati bisa meningkatkan emisi gas rumah kaca,
padahal Indonesia punya komitmen mengurangi emisi.
"Jangan sampai suatu saat nanti kita ditagih harusbayar pajak karbon," ujarnya.
Lepas dari rintangan teknis, Rinaldy beralih ke kendala politik.
"Negara asing melihat kita negara penuh teroris. Enggak mungkinlah
kita diizinkan membangun PLTN. Kita ini belum punya keberanian seperti
Iran, yang mengorbankan banyak hal.
Jadi langkah untuk tidak seperti Iran adalah langkah tepat," kata
Rinaldy bersiteguh bahwa nuklir pilihan terakhir meskipun PLTN sudah
diamanatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.
Nah, di sinilah perkaranya. Hudi bilang karena nuklir energi masa
depan, penentangan selalu ada. Sebab, banyak kepentingan bermain, baik
di internal maupun eksternal. "Ini bukan persoalan mampu atau tidak
mampu, tapi berani atau tidak berani," tegasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional meragukan kemampuan Indonesia membangun
PLTN. Ahli nuklir membantah. Kata mereka, nuklir bukan soal kemampuan
tapi keberanian.
(sindoweekly-magz.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar