Suram, kolot, dan dogmatis di mata dunia. Teduh, serba tertata dan terus membangun di dalam. Tiga dekade lebih sejak Revolusi Islam, Republik Islam Iran menunjukkan kemampuannya untuk mandiri dan melangkah melebihi ekspektasi dunia. Inilah catatan ringan perjalanan reporter SINDO WeeKLY, Alfian Hamzah ditemani Islam Times.
Distrik Bahesti Zahra di luar kota Tehran, Iran,
suatu hari di penghujung Januari lalu. Sebuah jumbo jet milik
maskapai Emirates Airlines baru saja mengecup landasan pacu Imam Khomeini
International Airport.
Sekitar sepuluh menit kemudian, begitu burung besi itu sudah terparkir, dua
ratusan orang penumpang bersicepat membuka sabuk pengamanan.
Di pintu pesawat, seorang pramugari Uzbekistan
bersiap melepas penumpang dengan senyum yang dingin. Mereka, seperti para
penumpang itu, juga sudah letih. Dubai dan Tehran memang hanya
terpaut dua jam. Tapi sekarang sudah larut, sudah hampir jam tiga subuh, dan
suhu di luar dingin tak terkira: minus tiga derajat.
Serombongan kecil turis dari Asia
dan seorang wartawan ada di antara penumpang yang bersiap turun malam itu. Ini
detik-detik menegangkan bagi mereka.
Koran-koran dunia hari itu turun dengan aneka
berita suram. Ada kabar Tehran terjepit blokade ekonomi Amerika
Serikat dan Eropa. Ada kabar Israel siap melepas skuadron bomber ke langit Tehran. Amerika sendiri
sudah lama menumpuk kapal-kapal induk berhulu ledak nuklir di Selat Hormus.
Perang bisa pecah sewaktu-waktu.
Tapi hanya perlu beberapa menit bagi rombongan
turis Asia itu untuk sadar kalau genderang
perang itu tak lebih dari keriuhan di media.
Begitu pintu pesawat terbuka, belalai gajah yang
menjadi jembatan ke bangunan terminal penumpang di lantai dua, mendadak berubah
layaknya catwalk.
Orang-orang Iran malam itu melenggang dengan aneka model dan warna busana
musim dingin. Yang perempuan utamanya. Banyak dari mereka yang membalut tubuh
dengan mantel berbulu, sepatu boot, aneka syal dan tas jinjing merek ternama.
Hanya jilbab yang membedakan belalai gajah malam
itu dengan catwalk di Milan,
Italia.
Di dalam bangunan terminal, seorang Pasdaran
terlihat berjaga, menyapukan pandang ke barisan penumpang, dengan mata yang
terlihat mengantuk. Hanya perlu satu kelokan dan sebuah jalan panjang di lorong
sebelum rombongan penumpang malam itu sampai ke konter imigrasi.
Tepat di kelokan, sebuah mobil elektrik telah
menunggu. Ini pelayanan bandara untuk penumpang yang sudah uzur, untuk para ibu
yang membawa anak bayi, untuk wanita hamil, yang terlalu letih bahkan untuk
sekadar berjalan di atas eskalator.
Negara ini, yang kerap dicap sebagai kolot, jumud
dan dogmatis, masih punya waktu untuk memperhatikan keperluan warga yang uzur,
bahkan di saat jam menunjukkan pukul tiga subuh.
* * *
Dua ruas jalan bebas hambatan (highway)
menghubungkan bandara dan pusat kota Tehran. Bagi orang asing
yang pertama kali melintas di atasnya, ada semacam perasaan terperosok ke
lubang kelinci, sebelum akhirnya menemukan sebua dunia yang baru dan
berpendar-pendar. Mungkin seperti dalam kisah Alice in The Wonderland.
Bukan apanya. Jalan ini serba mulus dan tertata,
jauh dari potret suram, kolot dan terbelakang yang kerap diberitakan media
Barat. Orang-orang Iran yang merancang dan merwatnya
seperti terobsesi dengan cahaya. Beratus-ratus kilometer highway yang
menghubungkan Bandara, Tehran
dan kota-kota terdekat penuh dengan lampu jalan yang bersinar terang.
Dari kejauhan, jalan terlihat terlihat laksana ekor
naga yang membara.
Di sepanjang jalan, marka penanda tampil dalam dua
bahasa: Parsi dan Inggris. Reklama tak banyak, meski tak ada satupun yang
bercerita tentang barang asing. Semua yang diperlihatkan adalah produk lokal,
dari susu hingga keju, dari kulkas hingga tawaranan simpanan di bank-bank.
Semuanya tertulis dalam bahasa Parsi.
Di Iran, semua mobil stir kiri. Soal perilaku
berkendara, orang Iran
nampaknya sedikit lebih nekat. Dari bandara apalagi saat dini hari, taksi
umumnya terbang dengan jarum speedometer di atas angka 100. Jalan memang
lapang. Tak ada truks atau kontainer yang menghalangi manuver. Dua yang
terakhir punya jalur sendiri, terpisah dari jalur publik. Ini mungkin
alternatif jika perang pecah dan musuh mengebom jalan utama.
Di sini, orang baru kena peringatan jika menyetir
di atas 120 kilometer per jam. Ada
kamera otomatis yang merekam jika Anda melampaui ambang itu. Esok paginya,
sebuah surat
tilang dipastikan tertempel di garasi rumah Anda. Jika malas-malasan membayar,
denda bakal membesar seiring hari. Gagal memenuhi tenggat pembayaran, maka
mobil Anda tak akan pernah bisa diperjualbelikan untuk selamanya.
Taksi-taksi di sini umumnya sudah hapal di sebelah
mana kamera pengintar terpasang. Jangan heran jika supir kerap memacu mobil di
atas ambang kecepatan dan menurunkan laju setiap menjelang tempat kamera
pengintai terpasang.
* * *
Menjelang Kota Tehran, obsesi orang Iran pada lampu
yang gemerlap semakin nampak. Lampu aneka warna dan ukuran menghiasi hampir
setiap sudut kota.
Umumnya hijau, ungu dan keemasan.
Gambaran yang lebih jelas terlihat di pagi hari.
Salju yang turun di hari sebelumnya masih menyelimuti kota. Pucuk-pucuk pohon banyak mengering,
tertikam dinginnya musim. Di jalanan kota,
kemacetan terlihat di jalan-jalan protokol. Orang Tehran,
seperti Jakarta,
tak tahan dengan kemacetan. Ada
saja yang malas mengantri, mencoba mencuri sela di pertigaan.
Motor jarang-jarang terlihat, begitu pula barisan
mobil mewah. Tapi ini mungkin gambaran pemerataan ekonomi di sini: hampir semua
orang di sini punya mobil. Sebuah data bilang rasionya satu dari tiga kepala
punya mobil.
Mobil umumnya sedan. Peugeot produksi Iran, yang lisensinya sudah lama dibeli oleh
pemerintah Iran,
yang paling sering terlihat. Banyak juga sedan nasional produksi Iran, seperti
Khudro, serta sedan-sedan impor mewah produksi Korea Selatan.
Di sini, mobil sedan nasional harganya setara Rp 90
juta dalam rupiah. Mobil umumnya telah dilengkapi dengan dua tabung bahan
bakar: untuk gas dan bensin.
Di sini, semua mobil wajib berkaca bening. Ini
menjadikan jalan raya dan seluruh kendaraan yang melintas tak ubahnya sebuah
akurium raksasa. Orang jadi tak terhindarkan untuk saling pandang saat
berkendara. Di jendela belakang mobil, orang Iran kerap menuliskan kaligrafi.
Isinya aneka kalimat memuji dan mengenang Nabi Suci Muhammad saw atau Keluarga
Nabi. Kadang pula di jendela belakang terpampang foto keluarga pemilik mobil.
Ini petanda kalau yang wajahnya terpajang baru saja meninggal.
Soal transportasi massal, orang di sini umumnya
mengandalkan bus kota.
Ukurannya sedikit lebih besar dari Mayasari di Jakarta dan terlihat lebih
terawat. Penumpang duduk terpisah, laki di bagian depan, kaum hawa duduk di
deretan bangku belakang. Di Iran, seperti Jakarta,
juga ada busway. Hanya saja, penataan busway di Iran nampaknya lebih maju dengan
armada yang lebih modern.
Moda transportasi massal lainnya adalah subway.
Jaringan kereta bawah tanah ini mengkover empat penjuru kota. Kontraktornya adalah orang-orang China, meski Iran belakangan kabarnya sudah punya
pabrik lokomotif sendiri. Dalamnya tunnel lebih dari 50 meter. Orang perlu tiga
kali turun eskalator sebelum sampai ke pintu subway.
Tapi umumnya orang di sini orang bepergian dengan
taksi. Ini cerita tersendiri. Di sini, semua mobil pribadi bisa merangkap jadi
taksi. Orang cukup melambaikan tangan untuk menumpang. Jika tujuan sama dan
pemilik mobil tergerak mengangkut, Anda boleh naik dan membayar sesuai
kesepakatan. Kendati, ada juga taksi argo, yang hanya datang jika dipesan via
telepon, dan taksi minivan yang melayani jalur-jalur tertentu.
Polisi lalu lintas jarang terlihat, kecuali di
perempatan atau bundaran rawan macet. Lebih jarang lagi polisi wara-wiri di
jalan, apalagi sampai menilang pemilik kendaraan.
* * *
Milad Tower adalah
gedung tertinggi di Iran.
Ini menara telekomunikasi, yang tertinggi kelima di dunia, kabarnya. Jika Anda
kebetulan datang ke Tehran dan sempat berdiri
puncak di Milad, Anda bakal melihat kota
ini menawarkan pemadangan khas kota-kota Eropa. Konturnya berbukit dan bergunung-gunung
dengan Alborz, barisan pegunungan, terlihat mengawal sisi utara kota.
Puncak Alborz sepanjang tahun bertudung salju.
Jika sempat berkeliling kota, Anda sukar mendapati pemandangan yang
tak sedap. Di sini, hampir semuanya terlihat indah dan tertata. Jalan-jalan
bersih, pepohonan dimana-mana. Air selokan umumnya bening.
Berkeliling lebih lama, orang mudah menangkap kesan
orang-orang Tehran
sudah lepas dari dari banyak krisis dasar kota-kota di negara berkembang.
Umumnya orang di sini tinggal di apartemen, blok-blok pemukiman. Desainnya
serba unik, meski tak terlihat mewah dan metereng.
Di setiap blok pemukiman, selalu ada taman. Taman aneka rupa, dengan berbagai fasilitas olah raga di
dalamnya. Saat musim panas atau semi, orang membanjiri taman-taman ini untuk
sekadar tetirah, berkemah, masak-memasak atau berolahraga seharian penuh.
Di kawasan pemukiman, selalu ada toko daging, toko
buah dan toko roti yang menjadi pusat interaksi utama, di luar langgar yang
selalu jadi sentral. Plum dan semangka
termasuk favorit di toko buah. Pisang harganya yang paling mahal, hanya
konsumsi orang-orang kaya dan tamu-tamu negara. Entah mengapa.
Di luar itu, orang bakal segera menangkap kesan
pula kalau kota
dan penduduknya senang dengan dengan seni. Mural mudah terlihat di pojok-pojok kota. Bukan sembarang.
Disini semuanya buah karya seniman kenamaan. Yang banyak adalah gambar syahid,
para pejuang revolusi. Tapi banyak juga berupa lukisan abstrak, yang mengundang
decak kagum dan perenungan.
Beda dengan kebanyakan metropolitan dunia, di
Tehran dan bahkan seantero Iran,
tak ada mall sama sekali. Pemerintah di sini nampaknya kukuh ingin melindungi
pedagang bazar dan mencegah penumpukan kekayaan di tangan konglomerasi. Di sini
juga tak ada bar, diskotik, atau pusat pelesiran laiknya di negara-negara Arab.
Di sini juga tak ada bank asing. Sosok yang paling dekat ke bank asing adalah
Citybank. Ini nama bank nasional yang nampaknya plesetan raksasa perbankan
dunia, Citibank.
Soal kebebasan, ini sebenarnya cerita panjang dan
sendiri. Tapi sepintas, di sini orang bebas-bebas saja. Di pusat kota dan keramaian, kaum
hawa kerap hanya berjilbab ala kadarnya.
Yang sudah menikah umumnya mengecat rambut, dan
sudah jadi tren dalam beberapa tahunt erakhir orang Iran keluar masuk ruang operasi
untuk menurunkan tingkat kemancungan hidung. Saat menyetir sendiri atau duduk
bergerombol di restauran, kaum perempuan muda Iran kadang seperti tak sadar kalau
kerundungnya tanggal.
Di kawasan wisata di utara Tehran,
tempat warga kota
menikmati ski, atau sekadar menyegarkan pandangan dengan naik cable car,
pasangan muda muda terlihat bebas bercengkrama dan berdua-duaan.
Bagaimana dengan soal minuman keras, narkotika,
musik rock atau apapun yang lumrah di dunia Barat? Di sini, boleh percaya boleh
tidak, Anda boleh berbuat apa saja. Syaratnya hanya satu: Anda menikmatinya di
rumah sendiri. Polisi tak akan pernah datang menggerebek, selama tak ada
komplain dari tetangga atau anggota keluarga Anda sendiri. Di Iran, negara tak
punya mencampuri kehidupan pribadi orang per orang.
Bagaimana dengan soal keamanan? Di Iran, tingkat
kriminalitas terbilang rendah dan orang di sini nampaknya menaruh bangga pada
jajaran kepolisian. Di sini, sudah jadi semacam protap, kalau polisi bakal
berdiri di pintu apartemen Anda sembilan menit setelah Anda menelpon
menyampaikan keluhan dan pengaduan.
Polisi di sini juga jauh dari gambaran polisi di
film-film Hongkong. Memuntahkan peluru tajam ke warga sipil haram hukumnya.
Jika ada pencuri, negara menuntut polisi mengejar dengan tangan kosong. Mungkin
ini yang menerangkan kenapa di yellowpage orang Iran, salah satu yang iklannya
paling banyak adalah iklan pintu baja, kunci modern dan pagar berduri.
Melintas di jalan-jalan Tehran, tak terlihat adanya tanda-tanda negara
sedang tegang dan dalam persiapan perang. Pun tak ada tanda nyata ketakpuasan
yang merata pada pemerintahan. Orang-orang di sini sepertinya siap dengan
segala keadaan, dan sepertinya mempercayakan sepenuhnya urusan keamanan mereka
pada barisan tentara dan Pasdaran – pasukan pengalawan revolusi. Dua golongan
ini jarang terlihat di jalan-jalan kota.
Markas mereka pun tertutup. Selalu ada tanda dilarang memotret di setiap
bangunan atuapun kompleks militer. Satu-satunya isyarat kesiapan perang mungkin
adalah sejumlah turet senapan anti pesawat yang tersembul di sejumlah bukti di
ketinggian kota.
[Islam Times/on/SINDO WeeKLY, Edisi 14 /03 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar