Wacana pemanfaatan energi nuklir untuk mengatasi kelangkaan energi dan pemanasan global masih saja mengundang perdebatan. Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi yang diakibatkan oleh tsunami dijadikan justifikasi bahwa energi nuklir tidak cocok untuk Indonesia , seakan-akan seluruh wilayah Indonesia berpotensi dilanda tsunami membahayakan. Padahal daerah yang berpotensi tsunami membahayakan di tanah air sesungguhnya tidak banyak.
Daerah rawan
itu umumnya terletak di pantai barat Sumatera, selatan Jawa dan Nusa Tenggara,
serta sisi utara wilayah Indonesia
bagian timur. Sementara PLTN direncanakan akan dibangun di daerah yang
potensi tsunami dan gempanya rendah, misalnya kawasan pantai yang umumnya
menghadap ke laut Jawa. Selain itu, pembangunan PLTN memperhatikan
pula banyak faktor, antara lain vulkanologi, klimatologi, demografi, dan
lain-lain.
Ketakutan akan
kecelakaan dalam PLTN umumnya dipicu oleh sangka yang keliru tentang sumber
energi yang satu ini. Sangka itu kemudian dipersepsikan sebagai fakta.
Beberapa hal berikut menunjukkan beberapa sangka tersebut dan bagaimana
faktanya di lapangan.
Pertama,
energi nuklir disangka tidak aman yang ditunjukkan oleh kecelakaan Chernobyl dan Fukushima .
Faktanya, risiko kematian akibat nuklir sangat kecil. Dalam rantai pembangkitan
tenaga listrik, kematian pekerja maupun anggota masyarakat akibat nuklir adalah
yang terkecil di banding sumber energi lain. Menurut laporan OECD tahun
2010 (NEA No. 6861), jumlah kematian per Gigawatt-tahun listrik dihasilkan pada
rentang 1969 - 2000, adalah LPG (16,85), PLTA (10,29), BBM (1,03), batubara
(0,80), dan nuklir (0,05). Satu-satunya kecelakaan nuklir yang menelan korban
jiwa adalah peristiwa Chernobyl
tahun 1986 yang menewaskan 31 pekerja. Tidak seperti yang disangka orang,
faktanya kecelakaan di PLTN Fukushima sama sekali tidak mengakibatkan korban
jiwa akibat radiasi.
Sejatinya
teknologi PLTN sudah sangat aman. Teknologi PLTN generasi ketiga plus dewasa
ini sudah jauh lebih baik dan aman dibandingkan pendahulunya seperti Fukushima
Daiichi yang berasal dari generasi kedua. Dengan memilih lokasi yang
lebih aman dari potensi bencana alam dan mengutamakan keselamatan secara ketat,
listrik nuklir tetap paling unggul dari segi keselamatan jiwa manusia.
Sangka yang
kedua, bangsa Indonesia
ceroboh dan tidak siap dengan energi nuklir yang memerlukan SDM dengan
disiplin tinggi. Faktanya, bangsa Indonesia telah lebih dari 40 tahun
mengelola dan merawat reaktor riset dengan aman dan selamat, yang notabene jauh
lebih sulit pengoperasiannya dari pada PLTN karena harus lebih sering
dinyalakan, dimatikan dan dimanuver untuk eksperimentasi. Hal ini dicapai
bukan saja karena SDM nuklir kita cakap atau berdisiplin tinggi, tapi juga
karena desain peralatan dan fasilitas nuklir pada umumnya sudah memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan kegagalan akibat kelalaian manusia, kerusakan alat,
bahkan ketidak sempurnaan desain itu sendiri.
Disiplin itu
bagus. Bangsa Indonesia
telah menunjukkan bahwa mereka bisa memupuk disiplin melalui pendidikan dan
pelatihan yang baik sebagaimana ditunjukkan pula oleh mereka yang bergerak di
industri perminyakan, penerbangan, otomotif dan industri strategis
lainnya. Dengan pengawasan dan penegakan aturan yang ketat baik secara
internal, maupun eksternal oleh badan pengawas nasional dan internasional,
putera-puteri Indonesia
telah menunjukkan kemampuannya. Kemampuan dan kesiapan nuklir Indonesia
bahkan telah pula diakui oleh IAEA sebagai badan pengawas nuklir dunia.
Sangkaan yang
ketiga, limbah nuklir berbahaya dan tidak ada solusinya. Faktanya limbah
nuklir jauh lebih aman daripada limbah industri lain, karena secara umum
tatakelola limbah nuklir lebih diatur dan diawasi secara nasional dan
internasional, sebagaimana pengoperasian PLTN itu sendiri. Limbah nuklir
jauh lebih sedikit dibanding limbah B3 dari industri lain sehingga mudah
dikelola dan diawasi. Selain itu limbah nuklir hanya berbahaya dalam jangka
waktu tertentu, yaitu untuk limbah aktivitas sedang dan menengah cukup
diamankan hingga 300 tahun, sedangkan untuk yang aktivitas tinggi perlu
diamankan sampai seribuan tahun. Bila waktu yang ditetapkan itu terlampaui maka
limbah itu akan menjadi stabil dan aman seperti tanah biasa. Sedangkan limbah
berupa B3 dari industri kimia akan tetap berbahaya selamanya. Mengingat
jumlahnya yang relatif kecil, pengelolaan limbah nuklir lebih mudah.
Bangsa Indonesia sudah
menguasai teknik pengelolaan limbah nuklir ini. Seluruh limbah radioaktif yang
dipakai di industri maupun rumah sakit di Indonesia ditangani dengan baik
oleh BATAN. Dengan teknik isolasi, pengurangan volume dan pemadatan, limbah
nuklir dari seluruh Indonesia
dapat dikelola sesuai dengan standar dan praktek terbaik internasional.
Untuk
pengelolaan bahan bakar bekas PLTN komersial, prinsipnya tidak jauh berbeda.
Swedia adalah salah satu contoh negara yang berhasil mendapatkan dukungan penuh
rakyatnya dalam membangun fasilitas penyimpanan limbah PLTNnya secara lestari.
Dukungan itu diperoleh setelah melaui proses informasi dan edukasi publik
secara bertahap dan terus menerus dari awal ide itu dimunculkan. Akibatnya, dua
daerah yang berdasarkan hasil studi dinyatakan aman dan terbaik untuk lokasi
penyimpanan limbah PLTN Swedia, saling berkompetisi agar dipilih. Mereka
menganggapnya sebagai sumber lapangan pekerjaan yang bergengsi internasional.
Pendekatan
lain adalah wait and see. Mengingat limbah nuklir masih mengandung uranium dan
plutonium yang bila diolah ulang akan dapat dijadikan bahan bakar baru, maka
banyak juga negara yang memilih menyimpan sementara bahan bakar bekas PLTN
mereka, sambil menunggu agar bahan bakar bekas tersebut mendingin dan berkurang
radioaktivitasnya sehingga mudah diolah pada saatnya nanti. Teknologi
terus menerus dikembangkan, termasuk pengurangan limbah dengan teknik
transmutasi yang mampu mengubah sifat fisika bahan tersebut sehingga tidak lagi
radioaktif, alias aman.
Begitulah
sebagian dari sangka dan fakta seputar PLTN. Apakah Indonesia siap
menggunakannya sekarang dapat kita pelajari dari negara-negara lain yang sudah
menggunakannya. SDM Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik dan lebih
siap daripada Korea Selatan ketika mereka memulai program energi nuklir tahun
1980. Dengan pendapatan perkapita 3500 dolar dan perekonomian yang
membaik sudah saatnya kita menggunakan energi nuklir dengan tetap mengedepankan
prinsip kehati-hatian dan mengutamakan keselamatan secara ketat. Vietnam dan Uni
Emirat Arab adalah contoh negara-negara yang berani mengambil keputusan
strategis membangun PLTN untuk mengamankan cadangan energi masa depannya.
Padahal SDM nuklir mereka tidak sesiap Indonesia .
Tidak ada
negara yang berpenduduk di atas 150 juta yang tidak menggunakan nuklir.
Sudah saatnya kita berani menggunakan energi nuklir dengan tetap mengutamakan
keselamatan. Apalagi tak kurang dari IAEA sendiri dalam banyak kesempatan
mengatakan Indonesia
adalah salah satu negara yang lebih siap menggunakan PLTN dan unggul di kawasan
dalam pemanfa
(www.batan.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar