Selasa (11/05), KMS (Keluarga Mahasiswa Sosiologi) menggelar sebuah diskusi public yang bertemakan Peran Elit Agama dalam Mendominasi Kehidupan Sains dan Politik di Iran. Diskusi yang diadakan di ruang Seminar Fisipol UGM ini diadakan untuk membuka cakrawala pengetahuan mahasiswa tentang Iran.
Menurut Fuji Riang
P, Ketua Panitia acara ini menjelaskan bahwa topic tentang Iran memang
sangat potensial untuk didiskusikan. Apalagi lanjutnya, situasi politik Iran saat ini
pasca kekalahan kaum reformis juga sedang hangat-hangatnya dalam pemberitaan
internasional. Selain itu, pemilihan topic Iran
tidak lain karena Bapak Supraja, SH, S.Sos, M. Si, pembicara dalam diskusi ini
baru saja pulang dari studinya di Iran. “Sekaligus untuk mempublish
studi beliau tentang Iran,
agar tidak sia-sia,” tandas mahasiswa berkacamata ini.
Diskusi ini cukup menarik, mengingat Iran termasuk
salah sedikit negara yang gencar sekali melawan dominasi negara Barat, terutama
Amerika Serikat. Selain itu, Iran
juga terkenal dengan stereotype negara Islam radikal, sehingga sudah pasti
peran elite agama sangat mendominasi di sana.
Seperti yang kita ketahui, Iran memang
memiliki sistem demokrasi yang berbeda dari demokrasi kebanyakan. Menurut Dr.
M. Suparja, SH, S.Sos, M. Si, pembicara dalam diskusi ini, menerangkan bahwa Iran menganut
sistem demokrasi yang bernama Willayatul Taqib atau Theo Demokrasi. Sistem ini
memang memberikan banyak kesempatan bagi marja’ (ulama) untuk berpartisipasi
dalam kehidupan politik. Bahkan, secara ekstrim, peran marja’ ini bisa
disetarakan dengan peran legislative.
Peran marja’ memang sangat besar dan berpengaruh
dalam kehidupan budaya, politik maupun ilmu pengetahuan masyarakat Iran.
Kebanyakan para marja’ tersebut terkonsentrasi di kota
Qom, sehingga Qom
terkenal sebagai ibu kota politik dan kota suci. Kebanyakan
marja’ memiliki kaum yang sangat banyak dan loyal tentunya. Selain melayani
konsultasi berbagai permasalahan fiqih sehari-hari, para marja’ tersebut juga,
menetapkan semacam sedekah atas jasa mereka.
Yang sangat mengagumkan di Iran adalah
uang sedekah dari para umat marja’ digunakan untuk berbagai macam keperluan,
mulai dari sosial, pendididikan hingga teknologi. Ada banyak sekali Hawzah (Institute) yang
didirikan, universitas, lembaga riset, rumah sakit, NGO (Non Government
Organization) dan perpustakaan didirikan berkat dana tersebut.
Marja’ yang paling terkenal di Iran adalah
Imam Khomeini. Beliau adalah tokoh penggerak reformasi Islam tahun 1979 di Iran. Selain
sebagai tokoh politik, Imam Khomeini juga termasuk ahli pemikir dan filsuf pada
masanya. Tidak hanya Imam Khomeini, banyak para marja’ lainnya yang juga
merupakan ahli filsuf, sosiologi, sejarah, fiqih yang bertebaran di Iran. Maka
tidaklah berlebihan jika negara Iran
merupakan negara yang memiliki tradisi intelektual yang kental.
Pasca reformasi Negara Islam, banyak yang mengira
bahwa Iran
adalah negara yang tertutup dan cenderung menganut Islam yang radikal. Pendapat
ini terpatahkan ketika Dr. M. Suparja, SH, S.Sos, M. Si mendapat kesempatan untuk
mengunjungi negara Iran
baru-baru ini. para perempuan di Iran terbukti mendapat status
sosial yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah lulusan perguruan
tinggi wanita lebih banyak daripada kaum lelaki. Selain itu, peneliti yang
mengkaji Iran ini juga
sempat terpukau banyaknya mahasiswi Iran
yang mengajukan pertanyaan kritis saat dirinya menjadi dosen tamu di Iran.
Topik tentang Iran ini terbukti menyedot banyak
animo dari mahasiswa jurusan atau fakultas lain, mulai dari HI (Hubungan
Internasional), FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis) hingga Sastra Arab.
Luly, mahasiswa Sosiologi 2007 mengatakan bahwa
diskusi tentang Iran cukup menarik, karena dia juga tidak begitu tahu tentang
bagaimana pemerintahan di negara Islam. “ Aku pikir negara Islam kebanyakan
bias gender dan selalu mendeskreditkan pihak lain, tapi ternyata mereka cukup
terbuka tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip agama yang dianut,” ujar
mahasiswi berjilbab ini.
(www.fisipol.ugm.ac.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar