Sikap ngotot Presiden SBY untuk tetap menerima penghargaan HAM dari LSM di Amerika Serikat disayangkan beberapa kalangan politisi di DPR.
Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (31/5/2013) mengatakan, penghargaan itu bukan murni karena penilaian prestasi SBY di bidang HAM. Melainkan, ada unsur politik di baliknya.
Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (31/5/2013) mengatakan, penghargaan itu bukan murni karena penilaian prestasi SBY di bidang HAM. Melainkan, ada unsur politik di baliknya.
"Saya sedih dengan keputusan Presiden untuk
tetap menerima award yang tidak akuntabel sejak awal karena proses dan latar
belakangnya penuh kontroversi," kata Eva.
"Award itu awalnya politis karena memang perolehannya melalui lobby orang istana bekas menteri Kabinet SBY yang lalu, sehingga memang tidak ada kaitannya dengan prestasi-prestasi konkret Presiden di pengembangan toleransi," jelas Eva.
"Award itu awalnya politis karena memang perolehannya melalui lobby orang istana bekas menteri Kabinet SBY yang lalu, sehingga memang tidak ada kaitannya dengan prestasi-prestasi konkret Presiden di pengembangan toleransi," jelas Eva.
Menurutnya, lobby tersebut merupakan jebakan dan penyuapan bagi presiden sebab bertolak belakang dengan fakta-fakta di tanah air yang sedang menghadapi situasi semakin memburuknya praktik-praktik toleransi terhadap umat dari agama-agama minoritas.
"Sayang, tangisan dan tuntutan para korban tidak digubris Presiden karena tampaknya Presiden sendiri berkeinginan mendapat award bagi dirinya karena jelas tak akan membawa perubahan atau memperbaiki situasi toleransi di tanah air," tutur Eva.
Eva juga menyindir kredibilitas lembaga yang memberi penghargaan terhadap SBY. Jumlah peserta yang sedikit, menjadi buktinya.
"Kredibilitas lembaga tersebut juga patut dipertanyakan karena ternyata tidak mampu menjual tiket meja-meja dan merepotkan staf KBRI karena harus berperan sebagai sales acara tersebut. Dan sayangnya tidak mendapat respons positif dari pembeli. Ini tentu membuat prihatin kita semua, karena upacara pemberian award itu jadi tontonan yang tidak menarik," lanjut Eva.
Eva menyarankan agar presiden instrospeksi, menerima award seharusnya atas dasar prestasi (outcome) dan kinerja konkret (output), juga award tersebut bermanfaat bagi
Eva menegaskan SBY sebaiknya memberi kompensasi dalam masalah yang sedang dihadapi warga Syiah di Sampang, GKI Yasmin di Bogor, Ahamdiyah dan lain-lain karena tidak menikmati hak-hak konstitusional mereka untuk beribadah dalam tataran sebagai warga Negara
"Award dari para korban dan rakyat
(islamtimes.org)
Mahfudz Curiga Ada Motif Terselubung
LSM Pemberi Penghargaan ke SBY
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq menilai, World Statesman Award yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Appeal of Conscience Foundation (AoCF) di Garden Foyer, Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat, Kamis (30/5) malam waktu setempat, bukan sesuatu yang prestisius.
Sebab, penghargaan itu hanya diberikan oleh sebuah lembaga semacam LSM, yang dasar-dasar penilaian pemberian penghargaan itu tidak jelas ukurannya. Menurut Mahfudz, pemberian penghargaan itu akan berbeda maknanya jika diberikan oleh sebuah negara.
"Penghargaan seperti itu seringkali diberikan oleh lembaga swasta. Kalau di Indonesia selevel LSM lah. Akan sangat berbeda, kalau penghargaan itu resmi atas nama negara. Inikan nggak. Penghargaan itu kan
diberikan bukan atas nama negara," ujar Mahfudz di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta ,
Jumat (31/5).
Kata Mahfudz, masyarakatIndonesia akan memaknainya lain dan
mendalam, jika penghargaan itu berupa hadiah Nobel, yang proses seleksinya
panjang dan terukur.
Bahkan, ia justru mengkawatirkan pasca pemberian hadiah itu, akan menjadi pintu masuk bagi intervensi dari pihak pemberi penghargaan dan jaringannya untuk dengan mudah menjalankan aksi agendanya di Indonesia.
"Saya kawatir, jangan-jangan ini bagian dari upaya pihak-pihak tertentu di dalam negeri. Mungkin dia kolaborasi dengan satu LSM di negara lain. Dengan memberikan penghargaan ini, nanti jadi pintu masuk mereka untuk menekan pemerintah kita untuk memuluskan agenda-agenda mereka. Saya juga nggak tahu agenda-agenda terselubung mereka. Yang jelas, yang perlu diwaspadai justru di situnya," katanya.
(jurnalparlemen.com)
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq menilai, World Statesman Award yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Appeal of Conscience Foundation (AoCF) di Garden Foyer, Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat, Kamis (30/5) malam waktu setempat, bukan sesuatu yang prestisius.
Sebab, penghargaan itu hanya diberikan oleh sebuah lembaga semacam LSM, yang dasar-dasar penilaian pemberian penghargaan itu tidak jelas ukurannya. Menurut Mahfudz, pemberian penghargaan itu akan berbeda maknanya jika diberikan oleh sebuah negara.
"Penghargaan seperti itu seringkali diberikan oleh lembaga swasta. Kalau di Indonesia selevel LSM lah. Akan sangat berbeda, kalau penghargaan itu resmi atas nama negara. Ini
Kata Mahfudz, masyarakat
Bahkan, ia justru mengkawatirkan pasca pemberian hadiah itu, akan menjadi pintu masuk bagi intervensi dari pihak pemberi penghargaan dan jaringannya untuk dengan mudah menjalankan aksi agendanya di Indonesia.
"Saya kawatir, jangan-jangan ini bagian dari upaya pihak-pihak tertentu di dalam negeri. Mungkin dia kolaborasi dengan satu LSM di negara lain. Dengan memberikan penghargaan ini, nanti jadi pintu masuk mereka untuk menekan pemerintah kita untuk memuluskan agenda-agenda mereka. Saya juga nggak tahu agenda-agenda terselubung mereka. Yang jelas, yang perlu diwaspadai justru di situnya," katanya.
(jurnalparlemen.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar