Olimpiade 2012 London telah berakhir, peliputan dan pemberitaan media massa pun telah usai. Kini sudah waktunya warga kembali diingatkan dengan berita krisis ekonomi serta kebijakan yang diambil pemerintah mereka untuk mengatasinya.
Kanal-kanal sosial pun balik membahas isu lain. Rakyat di seluruh dunia sadar
bahwa mereka harus bersabar empat tahun lagi untuk bisa menikmati keramaian
ini.
Selama bertahun-tahun dan sejak dimulainya pertandingan
olimpiade,
media massa
memiliki hubungan tak terpisahkan dengan event ini. Media juga berperan dalam
mempublikasikan olimpiade dan menjadikannya event besar. Namun demikian harus
disadari bahwa hal ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dunia politik.
Sejak pertama kalinya olimpiade digelar pada tahun 1896, kehadiran politik di
event olahraga ini sudah dapat dirasakan. Sikap kekuatan adidaya dunia untuk
memanfaatkan pertandingan olimpiade, di mana atlet dari berbagai penjuru dunia
berkumpul adalah hal yang tidak dapat dipungkiri.
Mungkin sejumlah orang menilai olahraga dan politik
adalah dua hal yang terpisah, namun pengalaman selama ini membuktikan bahwa
keduanya memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Media menjadi tangan kanan
olimpiade dalam mempublikasikan pertandingan yang tengah berlangsung serta
isu-isu yang berkaitan dengannya. Hubungan antara olahraga dan politik tidak
selamanya berdampak negatif, terkadang malah mampu mendamaikan dua bangsa.
Ambil contoh peristiwa tahun 1971 di cabang olahraga tenis meja. Pertandingan antara
atlet Cina dan Amerika Serikat saat itu ternyata menjadi faktor penting bagi
terjalinnya hubungan politik kedua negara serta pulihnya hubungan bilateral
Beijing-Washington.
Mekanisme politik di olahraga sangat rumit dan di
event penting seperti olimpiade lebih rumit lagi. Salah satu contohnya adalah
olimpiade ke 11 yang digelar tahun 1936 di Berlin, Jerman. Saat itu, NAZI Jerman
memanfaatkan momen ini untuk menebar propagandanya. Jesse Owens, atlet lari
kulit hitam berhasil meraih posisi kedua dan meski adanya propaganda santer
Jerman terkait rasisme, ia tetap membuktikan memiliki semangat olahraga yang
tinggi. Hal ini telah membangkitkan kemarahan NAZI Jerman. Contoh lainnya,
penolakan sejumlah negara terhadap kebijakan apartheid di Afrika Selatan. Akibatnya
Afrika Selatan diboikot serta dilarang mengikuti olimpiade mulai tahun
1964-1992. Selain itu, kehadiran atlet Afghanistan antara tahun 1999-2002
juga ditangguhkan oleh Taliban.
Kini muncul berbagai pertanyaan, apakah seiring
dengan berlalunya waktu, intervensi politik di dunia olahraga memudar atau
semakin kental? Jika dicermati dengan lebih seksama, sangat disayangkan bahwa
campur tangan politik di dunia olahraga bukannya memudar malah kian kental,
khususnya yang terjadi di Barat. Meski slogan-slogan menentang proses ini terus
berlangsung, namun kebijakan pemimpin Barat masih tetap berpengaruh pada
lembaga-lembaga sosial.
Dengan dimulainya olimpiade modern di tahun 1896,
masyarakat internasional mengikuti pertandingan ini melalui media massa dan koran-koran.
Tahun 1936, untuk pertama kalinya olimpiade diliput luas melalui radio dengan
2500 pemancar serta 25 bahasa. Olimpiade Tokyo di tahun1964, untuk pertama
kalinya olimpiade diliput televisi di 40 negara dunia. Sejak saat itulah
persaingan dunia media dimulai secara serius. Namun sejak kapan dunia internet
turut meramaikan dunia olimpiade?
Tahun 1996, berita, foto dan penjualan tiket
olimpiade dilakukan secara online lewat internet. Sejak saat itulah, dunia maya
mulai andil meramaikan olimpiade. Penggunaan internet mencapai puncaknya di
olimpiade 2012 London.
Data yang ada menunjukkan, pemirsa televisi di olimpiade 2000 mencapai 307 juta
orang. Tahun 2008 meningkat mencapai 403 juta orang, adapun di olimpiade 2012
secara mendadak jumlah pemirsa mencapai tiga miliar orang.
Urgensitas media massa dalam meliput pertandingan olimpiade
dan persaingannya juga memaksa laman-laman sosial untuk terjun meramaikan momen
internasional ini. Hal ini dapat disaksikan dengan keanggotaan para atlet
terkenal dunia di facebook atau twitter. Di tahun 2008 belum ada atlet terkenal
dunia yang menjadi anggota laman sosial ini, namun di olimpiade London, 2012
tercatat hampir 1000 atlet dunia menjadi anggota facebook dan twitter.
Di samping berbagai rekor yang dipecahkan di
olimpiade London, penggunaan sistem canggih
dalam meliput dan menyiarkan pertandingan oleh media massa juga sangat luar biasa. Mayoritas
pengamat menyebut olimpiade London
sebagai olimpiade digital, karena penayangan pertandingan dapat dilakukan
secara online melalui jaringan internet. Ini merupakan keunggulan olimpiade London jika dibanding
dengan olimpiade sebelumnya.
Berdasarkan data statistik yang dihimpun panitia
teknis Olimpiade London, setiap harinya sekitar 1,5 juta orang mengunjungi
situs olimpiade dan satu miliar orang menyaksikan pertandingan olimpiade secara
online. 5500 kamerawan dan sutradara sibuk meliput 5600 jam pertandingan secara
langsung. 1000 kamera dan 52 perusahaan media massa tampak hadir di ruang khusus selama
pertandingan berlangsung. Namun seluruh aktivitas media tidak terbatas pada
hal-hal di atas. 22 ribu wartawan dan fotografer serta pengamat dari seluruh
penjuru dunia mendatangi London
untuk meliput berita. Untuk hal ini, Olimpiade London juga berhasil memecahkan
rekor.
Melihat data statistik tersebut maka dapat dipahami
bahwa kecenderungan media massa
untuk meliput pertandingan besar olahraga semacam olimpiade semakin meningkat.
Media massa ini
seakan-akan ikut bertanding di lapangan, mereka saling bersaing untuk menjadi
yang terbaik dalam meliput dan menyiarkan jalannya pertandingan. Para wartawan
yang hadir di London
setiap harinya mengirim ribuan berita dan foto-foto para atlet yang diambil
kamera menghiasi koran-koran dan majalah. Kita pun selama pertandingan
menyaksikan wajah-wajah atlet yang serius dan bertekad merebut medali. Kita pun
menyaksikan wajah-wajah ceria mereka ketika menang dan di sisi lain,
wajah-wajah sedih para atlet karena gagal meraih medali.
Ini merupakan pengaruh positif media. Namun ada
satu poin di sini, jika kita meyakini independensi media dan kebebasannya, maka
kita juga harus mampu menjawab pertanyaan ini, mengapa kamera dan para wartawan
yang pergi ke London
memilah-milah laporan dan foto yang mereka ambil ? Salah satunya adalah
pemberitaan mengenai atlet putri Republik Islam Iran.
Dari kontingen Iran yang berjumlah 54 atlet,
delapan di antaranya adalah atlet putri. Meski jumlah ini relatif kecil, namun
mereka tersebut di berbagai cabang olahraga seperti tenis meja, dayung,
panahan, tembak dan taekwondo. Kedelapan atlet ini meraih tiket ke London dengan perjuangan
keras. Mayoritas media Barat menfokuskan pemberitaannya mengenai perempuan Iran khususnya
hijab dan kebebasan. Media ini berusaha mencitrakan dua hal tersebut saling
bertentangan. Namun ketika atlet putri Iran hadir dan berlaga di Olimpiade
London media Barat memilih bungkam dan tidak memberikan komentar. Padahal
selama ini mereka gencar mengkritik hijab di Iran yang katanya mengekang dan
tidak sesuai dengan kebebasan.
Di sisi lain, ketika terdapat dua atlet putri Arab
Saudi berjilbab yang turut berlaga di Olimpiade London, media Barat ramai-ramai
mempublikasikannya dan bungkam terhadap pelanggaran hak-hak perempuan yang
terjadi di Arab Saudi. Di sisi lain, media ini berusaha keras menampilkan
berulang-ulang foto-foto dan gambar setengah bugil para atlet putri di sejumlah
cabang olahraga. Sepertinya dalam pandangan Barat, partisipasi di sebuah cabang
olahraga menjadi sebuah justifikasi untuk memakai pakaian setengah telanjang.
Sementara itu, setelah hampir satu abad, atlet putri muslim baru memperoleh
ijin untuk tampil di Olimpiade London dengan menggunakan busana muslimah yang
menutup aurat.
(IRIB Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar