"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Rabu, 06 Maret 2013

Media, Politik dan Olimpiade


Olimpiade 2012 London telah berakhir, peliputan dan pemberitaan media massa pun telah usai. Kini sudah waktunya warga kembali diingatkan dengan berita krisis ekonomi serta kebijakan yang diambil pemerintah mereka untuk mengatasinya. 


Kanal-kanal sosial pun balik membahas isu lain. Rakyat di seluruh dunia sadar bahwa mereka harus bersabar empat tahun lagi untuk bisa menikmati keramaian ini.


Selama bertahun-tahun dan sejak dimulainya pertandingan olimpiade, media massa memiliki hubungan tak terpisahkan dengan event ini. Media juga berperan dalam mempublikasikan olimpiade dan menjadikannya event besar. Namun demikian harus disadari bahwa hal ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dunia politik. Sejak pertama kalinya olimpiade digelar pada tahun 1896, kehadiran politik di event olahraga ini sudah dapat dirasakan. Sikap kekuatan adidaya dunia untuk memanfaatkan pertandingan olimpiade, di mana atlet dari berbagai penjuru dunia berkumpul adalah hal yang tidak dapat dipungkiri.

Mungkin sejumlah orang menilai olahraga dan politik adalah dua hal yang terpisah, namun pengalaman selama ini membuktikan bahwa keduanya memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Media menjadi tangan kanan olimpiade dalam mempublikasikan pertandingan yang tengah berlangsung serta isu-isu yang berkaitan dengannya. Hubungan antara olahraga dan politik tidak selamanya berdampak negatif, terkadang malah mampu mendamaikan dua bangsa. Ambil contoh peristiwa tahun 1971 di cabang olahraga tenis meja. Pertandingan antara atlet Cina dan Amerika Serikat saat itu ternyata menjadi faktor penting bagi terjalinnya hubungan politik kedua negara serta pulihnya hubungan bilateral Beijing-Washington.

Mekanisme politik di olahraga sangat rumit dan di event penting seperti olimpiade lebih rumit lagi. Salah satu contohnya adalah olimpiade ke 11 yang digelar tahun 1936 di Berlin, Jerman. Saat itu, NAZI Jerman memanfaatkan momen ini untuk menebar propagandanya. Jesse Owens, atlet lari kulit hitam berhasil meraih posisi kedua dan meski adanya propaganda santer Jerman terkait rasisme, ia tetap membuktikan memiliki semangat olahraga yang tinggi. Hal ini telah membangkitkan kemarahan NAZI Jerman. Contoh lainnya, penolakan sejumlah negara terhadap kebijakan apartheid di Afrika Selatan. Akibatnya Afrika Selatan diboikot serta dilarang mengikuti olimpiade mulai tahun 1964-1992. Selain itu, kehadiran atlet Afghanistan antara tahun 1999-2002 juga ditangguhkan oleh Taliban.

Kini muncul berbagai pertanyaan, apakah seiring dengan berlalunya waktu, intervensi politik di dunia olahraga memudar atau semakin kental? Jika dicermati dengan lebih seksama, sangat disayangkan bahwa campur tangan politik di dunia olahraga bukannya memudar malah kian kental, khususnya yang terjadi di Barat. Meski slogan-slogan menentang proses ini terus berlangsung, namun kebijakan pemimpin Barat masih tetap berpengaruh pada lembaga-lembaga sosial.

Dengan dimulainya olimpiade modern di tahun 1896, masyarakat internasional mengikuti pertandingan ini melalui media massa dan koran-koran. Tahun 1936, untuk pertama kalinya olimpiade diliput luas melalui radio dengan 2500 pemancar serta 25 bahasa. Olimpiade Tokyo di tahun1964, untuk pertama kalinya olimpiade diliput televisi di 40 negara dunia. Sejak saat itulah persaingan dunia media dimulai secara serius. Namun sejak kapan dunia internet turut meramaikan dunia olimpiade?

Tahun 1996, berita, foto dan penjualan tiket olimpiade dilakukan secara online lewat internet. Sejak saat itulah, dunia maya mulai andil meramaikan olimpiade. Penggunaan internet mencapai puncaknya di olimpiade 2012 London. Data yang ada menunjukkan, pemirsa televisi di olimpiade 2000 mencapai 307 juta orang. Tahun 2008 meningkat mencapai 403 juta orang, adapun di olimpiade 2012 secara mendadak jumlah pemirsa mencapai tiga miliar orang.

Urgensitas media massa dalam meliput pertandingan olimpiade dan persaingannya juga memaksa laman-laman sosial untuk terjun meramaikan momen internasional ini. Hal ini dapat disaksikan dengan keanggotaan para atlet terkenal dunia di facebook atau twitter. Di tahun 2008 belum ada atlet terkenal dunia yang menjadi anggota laman sosial ini, namun di olimpiade London, 2012 tercatat hampir 1000 atlet dunia menjadi anggota facebook dan twitter.

Di samping berbagai rekor yang dipecahkan di olimpiade London, penggunaan sistem canggih dalam meliput dan menyiarkan pertandingan oleh media massa juga sangat luar biasa. Mayoritas pengamat menyebut olimpiade London sebagai olimpiade digital, karena penayangan pertandingan dapat dilakukan secara online melalui jaringan internet. Ini merupakan keunggulan olimpiade London jika dibanding dengan olimpiade sebelumnya.

Berdasarkan data statistik yang dihimpun panitia teknis Olimpiade London, setiap harinya sekitar 1,5 juta orang mengunjungi situs olimpiade dan satu miliar orang menyaksikan pertandingan olimpiade secara online. 5500 kamerawan dan sutradara sibuk meliput 5600 jam pertandingan secara langsung. 1000 kamera dan 52 perusahaan media massa tampak hadir di ruang khusus selama pertandingan berlangsung. Namun seluruh aktivitas media tidak terbatas pada hal-hal di atas. 22 ribu wartawan dan fotografer serta pengamat dari seluruh penjuru dunia mendatangi London untuk meliput berita. Untuk hal ini, Olimpiade London juga berhasil memecahkan rekor.

Melihat data statistik tersebut maka dapat dipahami bahwa kecenderungan media massa untuk meliput pertandingan besar olahraga semacam olimpiade semakin meningkat. Media massa ini seakan-akan ikut bertanding di lapangan, mereka saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam meliput dan menyiarkan jalannya pertandingan. Para wartawan yang hadir di London setiap harinya mengirim ribuan berita dan foto-foto para atlet yang diambil kamera menghiasi koran-koran dan majalah. Kita pun selama pertandingan menyaksikan wajah-wajah atlet yang serius dan bertekad merebut medali. Kita pun menyaksikan wajah-wajah ceria mereka ketika menang dan di sisi lain, wajah-wajah sedih para atlet karena gagal meraih medali.

Ini merupakan pengaruh positif media. Namun ada satu poin di sini, jika kita meyakini independensi media dan kebebasannya, maka kita juga harus mampu menjawab pertanyaan ini, mengapa kamera dan para wartawan yang pergi ke London memilah-milah laporan dan foto yang mereka ambil ? Salah satunya adalah pemberitaan mengenai atlet putri Republik Islam Iran.

Dari kontingen Iran yang berjumlah 54 atlet, delapan di antaranya adalah atlet putri. Meski jumlah ini relatif kecil, namun mereka tersebut di berbagai cabang olahraga seperti tenis meja, dayung, panahan, tembak dan taekwondo. Kedelapan atlet ini meraih tiket ke London dengan perjuangan keras. Mayoritas media Barat menfokuskan pemberitaannya mengenai perempuan Iran khususnya hijab dan kebebasan. Media ini berusaha mencitrakan dua hal tersebut saling bertentangan. Namun ketika atlet putri Iran hadir dan berlaga di Olimpiade London media Barat memilih bungkam dan tidak memberikan komentar. Padahal selama ini mereka gencar mengkritik hijab di Iran yang katanya mengekang dan tidak sesuai dengan kebebasan.

Di sisi lain, ketika terdapat dua atlet putri Arab Saudi berjilbab yang turut berlaga di Olimpiade London, media Barat ramai-ramai mempublikasikannya dan bungkam terhadap pelanggaran hak-hak perempuan yang terjadi di Arab Saudi. Di sisi lain, media ini berusaha keras menampilkan berulang-ulang foto-foto dan gambar setengah bugil para atlet putri di sejumlah cabang olahraga. Sepertinya dalam pandangan Barat, partisipasi di sebuah cabang olahraga menjadi sebuah justifikasi untuk memakai pakaian setengah telanjang. Sementara itu, setelah hampir satu abad, atlet putri muslim baru memperoleh ijin untuk tampil di Olimpiade London dengan menggunakan busana muslimah yang menutup aurat. 

(IRIB Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar