Bermula dari Sebuah Podium Bersama
Memecah keheningan sesaat di ruang pertemuan nan megah itu, seorang pria brewok berjalan tegap mengapit sebuah map menuju podium. Ucapan salam dan doa meluncur membuka pidatonya yang menggebu-gebu.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, semenjak menjabat sebagai Presiden
Dialah Ahmadinejad, yang datang jauh-jauh
dari negara Dunia Ketiga ke New York
menyampaikan pidato pada pertemuan Sidang Majelis Umum PBB ke-66.
Mantan walikota ibukota Iran itu tidak
peduli ucapannya akan menyinggung banyak orang, bahkan menusuk ‘negara tuan
rumah' sekalipun. Bagi banyak orang, lidah pria kelahiran kota
kecil nan sunyi di ujung utara padang garam
pedalaman Iran
itu terlalu tajam. Pria Aradan itu terlalu percaya diri dengan sikapnya,
termasuk dalam pidatonya kali ini di hadapan para pemimpin dan perwakilan
negara-negara dunia.
Keturunan pandai besi itu tidak peduli meski pertengahan pidatonya, sebagian orang utusan negara-negara besar walk out disertai kecaman kemarahan. Dia juga tidak menghiraukan kegaduhan kecil segelintir orang yang membentuk konsentrasimassa menentang
kedatangan dan pidatonya di luar gedung mentereng itu, tidak jauh dari ruang
sidang internasional. Baginya, kritik dan kecaman adalah resiko yang harus
dihadapi atas pendirian yang dipeluknya begitu erat.
Pidato berbahasaPersia
yang terus mengalir deras dari mulut Ahmadinejad hingga akhir yang ditutup
salam perdamaian itu menyerukan reformasi manajemen global disertai deretan gugatan
mengenai ketidakadilan dunia dari masalah kemiskinan dan kelaparan hingga
gugatan peristiwa 11 September, kematian mencurigakan Osama bin Laden dan
Holocaust.
Mengulang drama sebelumnya, pidato Ahmadinejad pada Kamis (22/9) di sidang Majelis Umum PBB mengundang kontroversi. Para pemimpin negara-negara Barat yang kebakaran jenggot karena ceramahnya, menggambarkan PresidenIran itu
sebagai penyulut kekacauan dan penebar kebencian. Musuh menganggapnya sebagai
‘Devil' lengkap dengan ekor garpu dan tanduk. Tapi, para pendukung fanatiknya,
menyebut Ahmadinejad sebagai ‘Mukjizat Milenium Ketiga', meski itu tidak
segemerlap pujian dan sanjungan tahun-tahun sebelumnya.
Pasca pidato Ahmadinejad di PBB, mediamassa
mainstream gegap gempita memberitakan pidato Presiden Iran itu dengan
caranya masing-masing. CNN, BBC dan korporasi raksasa media lainnya menayangkan
liputan khusus mengenai potongan pidato Ahmadinejad yang mempersoalkan
peristiwa 11 September dan Holocaust. Media arus besar ini menyebut pidato
Ahmadinejad pada sidang Majelis Umum PBB hanya sekedar ejekan yang
mempersoalkan realitas yang sudah diterima sebagai sebuah kebenaran. Dari
saluran media mainstream inilah, media massa
dari berbagai negara dunia termasuk media Tanah Air menyuguhkan berita mengenai
pidato Ahmadinejad.
Media Mainstream dan Ahmadinejad
Selama ini berita dianggap sebagai sebuah refleksi dari realitas. Dengan asumsi tersebut, kita mengkonsumsi pesan-pesan dari berita itu. Namun, arus kritis menilai lain, berita bukan mirror of reality. Kalangan kritis menilai berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang melibatkan pandangan dan ideologi mediamassa dan jurnalis sendiri.
Stuart Hall dalam bukunya The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in media Studies(1982:64) mengungkapkan, "The media defined, not merely reproduced reality. Definition if reality were sustained and produced trough all those linguistic practice (in the broad sense) by mean of which selective definitions of the were represented. "
Di mata Hall, definisi media tidak mencerminkan reproduksi realitas. Di sini, realitas bukanlah satu set fakta yang dapat dilihat secara sederhana, tetapi hasil dari ideologi maupun pandangan tertentu. Definisi mengenai realitas diproduksi secara terus-menerus melalui praktik bahasa yang selalu bermakna sebagai bentuk memilah dan memilih apa saja yang harus ditampilkan sebagai sebuah respresentasi.
Media global digunakan sebagai penabuh genderang kelompok dominan untuk menyebarkan gagasannya, mengontrol kubu lain dan membentuk opini publik. Riset sosiologi media menyingkap peran besar media mainstream dalam membenamkan ideologinya di berita. Benar kata David Barrat (1994:51-52), ideologi dominan memapankan apa yang dipandang baik dan buruk lewat media.
Pola pemberitaan mediamassa
mainstream mengenai pidato Ahmadinejad dan sosoknya yang digambarkan antogonik
membenarkan pandangan kaum kritis. Misalnya, liputan khusus BBC Persia mengenai pidato Ahmadinejad yang
ditayangkan sehari setelah Presiden Iran
itu berpidato dan ditayangkan kembali berulang-ulang dengan menampilkan
potongan klip tentang pidato Ahmadinejad yang disusul sorotan tentang pemilu Iran .
Modus Misrepresentasi
Proses pemilihan dan pemilahan fakta bukan hanya dipahami sebagai bagian dari teknis jurnalistik semata, tetapi menyangkut praktik representasi yang seringkali terjebak pada modus misrepresentasi secara disengaja ataupun tidak. Tulisan ini berupaya mengupas praktik tersebut pada kasus pemberitaan media mainstream mengenai pidato Ahmadinejad dan sosok diri serta negaranya.
Dalam praktik representasi ini, media mainstream secara sengaja telah melakukan empat modus misrepresentasi. Eriyanto (2000:120-130) setidaknya menyebutkan ada empat bentuk misrepresentasi yaitu: ekskomunikasi (excommunication), eksklusi (exclusion), marginalisasi dan delegitimasi.
1. Ekskomunikasi
Ekskomunikasi berkaitan dengan bagaimana seseorang atau kelompok maupun pemikiran tertentu dikeluarkan dari pembicaraan publik. Dalam kasus pemberitaan media mainstream tentang pidato Ahmadinejad, media mayor menggambarkan sosok presidenIran
itu dengan kacamata Barat, bukan yang lain. Sangat jarang media mayor itu
menjelaskan Ahmadinejad dari dirinya sendiri maupun orang-orang dekatnya yang
merepresentasikan keadaan dia sebenarnya. Yang terjadi justru komentar-komentar
bias para pengamat yang sinis terhadap Ahmadinejad.
Pada kasus pidato Ahmadinejad di Majelis Umum PBB pada Kamis (22/9), media mainstream mengubur pidato Presiden muslim itu dan tidak membiarkan gagasan Ahmadinejad tampil sebagai wacana. Mediamassa
arus besar menggusur gagasan-gagasan Ahmadinejad, dan menggantikannya dengan
penggambaran buruk tentang presiden Iran itu.
Bagi media global semacam CNN, BBC, dan VOA, tidak ada yang baru dalam pidato presiden Iran itu, kecuali hanya mengulang-ulang kebencian antisemit dengan menggugat peristiwa Holocaust. Begitu juga dengan peristiwa 11 September, Ahmadinejad digambarkan tidak memperlihatkan sikap simpatik terhadap korban tragedi 11 September dan mendukung pelaku teroris.
Sehari setelah pidato menggemparkan itu, laman Yahoo di halaman depannya menampilkan Judul "Ahmadinejad Menggugat Kematian Osama dan peristiwa 11 September." Tulisan ini memberitakan pidato yang keluar dari mulut sang presiden negara pengecam Barat itu sebagai ocehan absurd dengan serbuan tudingannya yang bertubi-tubi tentang ambiguitas kematian seorang pemimpin milisi teroris dunia, Osama bin Laden. Sebuah pesan yang ingin dibenamkan media Barat ini di benak para pembaca adalah, pidato Ahmadinejad tidak lain dari gugatan omong kosong dari mulut seorang pembuat sensasi publik tentang peristiwa kematian teroris semacam Bin Laden. Demikian juga, tentang tragedi 11 September yang dikaitkan dengan peristiwa "pembantaian" Holocaust yang sudah kadung dianggap benar itu.
BBC Persia menurunkan liputan khusus mengenai pidato Ahmadinejad di Majelis Umum PBB yang diikatkan dengan kerusuhan pasca pemilu presidenIran yang
dimenangi Ahmadinejad. Jaringan televisi parabola yang dibiayai pemerintah
Inggris itu berulangkali memutar tayangan kerusuhan pasca pilpres dua tahun
lalu, lengkap dengan potongan klip video tentang kematian Neda, dan deretan
korban lainnnya.
Tidak hanya itu, BBC Persia juga menayangkan perbedaan jumlah korban dari berbagai kalangan termasuk pejabat terasIran
dari Ketua mahkamah agung hingga presiden dan pemimpin besar revolusi Islam Iran . Di sini,
media besar Barat berupaya membenamkan narasi besar bahwa kerusuhan tersebut
merupakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap penyelenggaraan pemilu yang
dianggap curang itu.
Untuk melengkapi argumentasinya, BBC Persia mewawancarai orang-orang yang dianggap berkompeten terkait pemilu diIran itu. Akumulasi rangkaian
berita itu berujung pada sebuah resultan bahwa Ahmadinejad berpidato di hadapan
para pemimpin dunia, di saat dirinya sendiri terpilih melalui pemilu yang klaim
BBC curang. Pemirsa BBC dijejali pesan, untuk tidak mempercayai ‘ocehan'
seorang presiden di Majelis Umum PBB yang terpilih dalam sebuah
"kecelakaan pemilu".
Praktik yang juga sering dilakukan media mainstream adalah penggambaran mengenai masyarakat Islam. Eriyanto (2000:122) mengungkapkan bagaimana gambaran media Barat yang melihat masyarakat Islam bukan bangsa yang berbudaya, teroris dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Di sini, orang-orang Islam tidak ditampikan dalam pemberitaan. Mediamassa
Barat menampilkan masyarakat muslim dari orang-orang Barat sendiri. Inilah
praktik pembenaman Islamophobia yang kerap dilakukan media massa Barat.
2. Eksklusi
Modus Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau sebuah kelompok maupun pemikiran tertentu dikucilkan dari pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain. Mereka dicap buruk dan bukan bagian dari ‘kita'.
Media mainstream mempraktikkan modus itu terhadap pidato Ahmadinejad dengan membuang isu besar yang diangkatnya. Media mainstream setidaknya melakukan dua prosedur eksklusi.
Pertama, melakukan pembatasan terhadap apa yang bisa dan tidak bisa dibicarakan sebagai wacana. Dalam hal ini, mediamassa
menghapus sejumlah isu yang diangkat Presiden Ahmadinejad seperti urgensi
reformasi kepemimpinan global Perserikatan Bangsa-bangsa, meski itu bertujuan
mewujudkan keadilan bagi semua. Padahal, pada saat yang sama, sejumlah pemimpin
dunia dan pemikir internasional juga menyerukan reformasi kepemimpinan global
sebagai sebuah keniscayaan dewasa ini.
Gagasan Ahmadinejad tentang kepemimpinan global tidak ditampilkan karena mengganggu, jika tidak bisa dikatakan mengancam status quo. Mediamassa global mencoret
pembahasan ‘usulan nyentrik' Ahmadinejad mengenai penghapusan hak veto yang
saat ini dimiliki segelintir negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, karena
mengancam posisi mapan sejumlah negara maju seperti AS. Dengan hak istimewa
itu, AS leluasa mengganjal semua kebijakan yang merugikan kepentingannya dan
sebaliknya bisa leluasa menggelontorkan semua draf resolusi yang menguntungkan Washington .
Kedua, membuat klasifikasi mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bisa diterima dan sebaliknya. Pada tahap kedua ini, media mainstream membuat klasifikasi sejumlah isu yang diangkat Ahmadinejad seperti Holocaust bahwa peristiwa itu benar dan gugatan Ahmadinejad hanya sebuah penyanggahan yang tidak beralasan.
Petikan perkataan Ahmadinejad mengenai Holocaust yang dikutip media mainstream jarang memuat sebagai sebuah sanggahan wajar seorang Presiden muslim itu terhadap sebuah peristiwa sejarah yang perlu dikaji ulang secara akademis, seperti korban dan mengapa bangsa Palestina yang harus jadi korban bukan Jerman atau negara Eropa lainnya.
Media arus besar menempatkan peristiwa Holocaust secara taken for granted yang tidak boleh digugat bahkan dari jumlah korbannya yang masih simpang siur itu telah diklaim sebagai sebuah kebenaran final yang harus ditelan mentah-mentah oleh khalayak. Begitu juga dengan peristiwa 11 September.
3. Marginalisasi
Marginalisasi adalah modus misrepresentasi dengan meminggirkan pihak lain. Praktik ini mengimplikasikan penggambaran buruk satu pihak terhadap pihak lain. Berbeda dengan sebelumnya, dalam marginalisasi terjadi pemisahan antara kubu dominan dan pihak lain.
Praktik marginalisasi yang seringkali dilakukan oleh media mainstream terhadap pidato Ahmadinejad di sidang Majelis Umum PBB adalah stereotype. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif, (meski umumnya negatif) terhadap orang kelompok atau pemikiran tertentu. (Eriyanto:2000,126-127). Dalam hal ini stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subjektif. Contoh yang paling sering diterapkan mediamassa adalah stereotypetentang perempuan
sebagai sosok yang lemah, tidak mandiri dan tidak rasional.
Dalam kasus liputan mediamassa terhadap pidato
Ahmadinejad dan sosoknya sebagai, media mayor begitu sering menggambarkan presiden
Iran
itu dengan streotipe tertentu yang bertujuan untuk menyudutkan. Misalnya,
sebutan presiden ultraradikal, fundamentalis, anti-HAM, tidak demokratis,
kolot, terbelakang, tidak moderat, diktator dan deretan label buruk lainnya
yang disematkan pada Ahmadinejad. Selain itu media massa
Barat juga membenamkan stereotipe tertentu terhadap Iran dengan segudang sebutan yang
memarjinalkan negara itu. Misalnya, negara tertutup, anti-demokrasi, anti-HAM,
pengusung perang, penyulut kemarahan, tukang bikin onar; negara yang sulit
berdiplomasi dan pemilik senjata nuklir.
4. Delegitimasi
Delegitimasi berhubungan bagaimana seseorang atau sebuah kelompok dianggap tidak absah. Praktik delegitimasi menekankan bahwa hanya kelompok tertentu yang benar sedangkan kelompok yang lain tidak benar, tidak layak, dan tidak absah. Setidaknya terdapat dua prosedur delegitimasi. Pertama, umumnya dilakukan dengan otoritas dari seseorang atau sebuah kelompok, apakah itu intelektual, ahli tertentu atau pejabat. Kedua, berkaitan dengan sebuah pernyataan yang dianggap absah atau tidak, dan pendukung keabsahannya.
Pada kasus media mainstream dan pidato Ahmadinejad, pemberitaan yang dilakukan media arus besar melakukan delegitimasi dengan menganggap usulan yang dikemukakan Ahmadinejad mengenai pembentukan tim investigasi independen kasus serangan 11 September 2001 tidak memiliki legitimasi, karena diungkapkan oleh seorang presiden muslim dari Dunia Ketiga.
Media mainstream membenarkan sebuah pesan besar, hanya negara besar anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti AS-lah yang berhak mengajukan usulan yang melibatkan isu global dan negara-negara dunia. Pada saat yang sama, dengan mudah AS mengusulkan draf resolusi sanksi PBB terhadap Iran dan negara lainnya yang dianggap ‘menyimpang' dan harus diluruskan seperti Suriah dan Korea Utara, meski itu harus berakhir dengan invasi militer.
Sejatinya, mediamassa Barat harus mendengarkan
seruan ekonom Stiglitz dalam "Globalization and discontents",
"Pierre Bourdie benar, politisi (juga media massa ) seharusnya bersikap seperti para
pengajar dan peneliti yang mengkaji masalah secara objektif. Namun amat
disayangkan kebanyakan para politisi justru melayani kepentingan ideologis para
pemilik kekuasaan."
Empat tahun lalu, Ahmadinejad menegaskan seruan ekonom Amerika yang mengulang ungkapan Filosof Prancis itu ketika berpidato di Universitas Columbia pada 27 September 2007 lalu, dan terus dipegangnya erat-erat. Seruan Presiden muslim di podium PBB itu adalah pekikan protes seorang dosen sebuah perguruan tinggi teknik di Teheran mengenai urgensi menyingkap topeng sandiwara sepak terjang negara arogan dunia. Meski itu harus ditebus dengan hinaan dari seorang rektor semacam Lee Bollinger, walk out para pejabat teras negara besar dunia dan rival-rival politik serta orang-orang yang termakan propaganda media mainstream.
(IRIB/PH)
Mantan walikota ibu
Keturunan pandai besi itu tidak peduli meski pertengahan pidatonya, sebagian orang utusan negara-negara besar walk out disertai kecaman kemarahan. Dia juga tidak menghiraukan kegaduhan kecil segelintir orang yang membentuk konsentrasi
Pidato berbahasa
Mengulang drama sebelumnya, pidato Ahmadinejad pada Kamis (22/9) di sidang Majelis Umum PBB mengundang kontroversi. Para pemimpin negara-negara Barat yang kebakaran jenggot karena ceramahnya, menggambarkan Presiden
Pasca pidato Ahmadinejad di PBB, media
Media Mainstream dan Ahmadinejad
Selama ini berita dianggap sebagai sebuah refleksi dari realitas. Dengan asumsi tersebut, kita mengkonsumsi pesan-pesan dari berita itu. Namun, arus kritis menilai lain, berita bukan mirror of reality. Kalangan kritis menilai berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang melibatkan pandangan dan ideologi media
Stuart Hall dalam bukunya The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in media Studies(1982:64) mengungkapkan, "The media defined, not merely reproduced reality. Definition if reality were sustained and produced trough all those linguistic practice (in the broad sense) by mean of which selective definitions of the were represented. "
Di mata Hall, definisi media tidak mencerminkan reproduksi realitas. Di sini, realitas bukanlah satu set fakta yang dapat dilihat secara sederhana, tetapi hasil dari ideologi maupun pandangan tertentu. Definisi mengenai realitas diproduksi secara terus-menerus melalui praktik bahasa yang selalu bermakna sebagai bentuk memilah dan memilih apa saja yang harus ditampilkan sebagai sebuah respresentasi.
Media global digunakan sebagai penabuh genderang kelompok dominan untuk menyebarkan gagasannya, mengontrol kubu lain dan membentuk opini publik. Riset sosiologi media menyingkap peran besar media mainstream dalam membenamkan ideologinya di berita. Benar kata David Barrat (1994:51-52), ideologi dominan memapankan apa yang dipandang baik dan buruk lewat media.
Pola pemberitaan media
Modus Misrepresentasi
Proses pemilihan dan pemilahan fakta bukan hanya dipahami sebagai bagian dari teknis jurnalistik semata, tetapi menyangkut praktik representasi yang seringkali terjebak pada modus misrepresentasi secara disengaja ataupun tidak. Tulisan ini berupaya mengupas praktik tersebut pada kasus pemberitaan media mainstream mengenai pidato Ahmadinejad dan sosok diri serta negaranya.
Dalam praktik representasi ini, media mainstream secara sengaja telah melakukan empat modus misrepresentasi. Eriyanto (2000:120-130) setidaknya menyebutkan ada empat bentuk misrepresentasi yaitu: ekskomunikasi (excommunication), eksklusi (exclusion), marginalisasi dan delegitimasi.
1. Ekskomunikasi
Ekskomunikasi berkaitan dengan bagaimana seseorang atau kelompok maupun pemikiran tertentu dikeluarkan dari pembicaraan publik. Dalam kasus pemberitaan media mainstream tentang pidato Ahmadinejad, media mayor menggambarkan sosok presiden
Pada kasus pidato Ahmadinejad di Majelis Umum PBB pada Kamis (22/9), media mainstream mengubur pidato Presiden muslim itu dan tidak membiarkan gagasan Ahmadinejad tampil sebagai wacana. Media
Bagi media global semacam CNN, BBC, dan VOA, tidak ada yang baru dalam pidato presiden Iran itu, kecuali hanya mengulang-ulang kebencian antisemit dengan menggugat peristiwa Holocaust. Begitu juga dengan peristiwa 11 September, Ahmadinejad digambarkan tidak memperlihatkan sikap simpatik terhadap korban tragedi 11 September dan mendukung pelaku teroris.
Sehari setelah pidato menggemparkan itu, laman Yahoo di halaman depannya menampilkan Judul "Ahmadinejad Menggugat Kematian Osama dan peristiwa 11 September." Tulisan ini memberitakan pidato yang keluar dari mulut sang presiden negara pengecam Barat itu sebagai ocehan absurd dengan serbuan tudingannya yang bertubi-tubi tentang ambiguitas kematian seorang pemimpin milisi teroris dunia, Osama bin Laden. Sebuah pesan yang ingin dibenamkan media Barat ini di benak para pembaca adalah, pidato Ahmadinejad tidak lain dari gugatan omong kosong dari mulut seorang pembuat sensasi publik tentang peristiwa kematian teroris semacam Bin Laden. Demikian juga, tentang tragedi 11 September yang dikaitkan dengan peristiwa "pembantaian" Holocaust yang sudah kadung dianggap benar itu.
BBC Persia menurunkan liputan khusus mengenai pidato Ahmadinejad di Majelis Umum PBB yang diikatkan dengan kerusuhan pasca pemilu presiden
Tidak hanya itu, BBC Persia juga menayangkan perbedaan jumlah korban dari berbagai kalangan termasuk pejabat teras
Untuk melengkapi argumentasinya, BBC Persia mewawancarai orang-orang yang dianggap berkompeten terkait pemilu di
Praktik yang juga sering dilakukan media mainstream adalah penggambaran mengenai masyarakat Islam. Eriyanto (2000:122) mengungkapkan bagaimana gambaran media Barat yang melihat masyarakat Islam bukan bangsa yang berbudaya, teroris dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Di sini, orang-orang Islam tidak ditampikan dalam pemberitaan. Media
2. Eksklusi
Modus Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau sebuah kelompok maupun pemikiran tertentu dikucilkan dari pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain. Mereka dicap buruk dan bukan bagian dari ‘kita'.
Media mainstream mempraktikkan modus itu terhadap pidato Ahmadinejad dengan membuang isu besar yang diangkatnya. Media mainstream setidaknya melakukan dua prosedur eksklusi.
Pertama, melakukan pembatasan terhadap apa yang bisa dan tidak bisa dibicarakan sebagai wacana. Dalam hal ini, media
Gagasan Ahmadinejad tentang kepemimpinan global tidak ditampilkan karena mengganggu, jika tidak bisa dikatakan mengancam status quo. Media
Kedua, membuat klasifikasi mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bisa diterima dan sebaliknya. Pada tahap kedua ini, media mainstream membuat klasifikasi sejumlah isu yang diangkat Ahmadinejad seperti Holocaust bahwa peristiwa itu benar dan gugatan Ahmadinejad hanya sebuah penyanggahan yang tidak beralasan.
Petikan perkataan Ahmadinejad mengenai Holocaust yang dikutip media mainstream jarang memuat sebagai sebuah sanggahan wajar seorang Presiden muslim itu terhadap sebuah peristiwa sejarah yang perlu dikaji ulang secara akademis, seperti korban dan mengapa bangsa Palestina yang harus jadi korban bukan Jerman atau negara Eropa lainnya.
Media arus besar menempatkan peristiwa Holocaust secara taken for granted yang tidak boleh digugat bahkan dari jumlah korbannya yang masih simpang siur itu telah diklaim sebagai sebuah kebenaran final yang harus ditelan mentah-mentah oleh khalayak. Begitu juga dengan peristiwa 11 September.
3. Marginalisasi
Marginalisasi adalah modus misrepresentasi dengan meminggirkan pihak lain. Praktik ini mengimplikasikan penggambaran buruk satu pihak terhadap pihak lain. Berbeda dengan sebelumnya, dalam marginalisasi terjadi pemisahan antara kubu dominan dan pihak lain.
Praktik marginalisasi yang seringkali dilakukan oleh media mainstream terhadap pidato Ahmadinejad di sidang Majelis Umum PBB adalah stereotype. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif, (meski umumnya negatif) terhadap orang kelompok atau pemikiran tertentu. (Eriyanto:2000,126-127). Dalam hal ini stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subjektif. Contoh yang paling sering diterapkan media
Dalam kasus liputan media
4. Delegitimasi
Delegitimasi berhubungan bagaimana seseorang atau sebuah kelompok dianggap tidak absah. Praktik delegitimasi menekankan bahwa hanya kelompok tertentu yang benar sedangkan kelompok yang lain tidak benar, tidak layak, dan tidak absah. Setidaknya terdapat dua prosedur delegitimasi. Pertama, umumnya dilakukan dengan otoritas dari seseorang atau sebuah kelompok, apakah itu intelektual, ahli tertentu atau pejabat. Kedua, berkaitan dengan sebuah pernyataan yang dianggap absah atau tidak, dan pendukung keabsahannya.
Pada kasus media mainstream dan pidato Ahmadinejad, pemberitaan yang dilakukan media arus besar melakukan delegitimasi dengan menganggap usulan yang dikemukakan Ahmadinejad mengenai pembentukan tim investigasi independen kasus serangan 11 September 2001 tidak memiliki legitimasi, karena diungkapkan oleh seorang presiden muslim dari Dunia Ketiga.
Media mainstream membenarkan sebuah pesan besar, hanya negara besar anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti AS-lah yang berhak mengajukan usulan yang melibatkan isu global dan negara-negara dunia. Pada saat yang sama, dengan mudah AS mengusulkan draf resolusi sanksi PBB terhadap Iran dan negara lainnya yang dianggap ‘menyimpang' dan harus diluruskan seperti Suriah dan Korea Utara, meski itu harus berakhir dengan invasi militer.
Sejatinya, media
Empat tahun lalu, Ahmadinejad menegaskan seruan ekonom Amerika yang mengulang ungkapan Filosof Prancis itu ketika berpidato di Universitas Columbia pada 27 September 2007 lalu, dan terus dipegangnya erat-erat. Seruan Presiden muslim di podium PBB itu adalah pekikan protes seorang dosen sebuah perguruan tinggi teknik di Teheran mengenai urgensi menyingkap topeng sandiwara sepak terjang negara arogan dunia. Meski itu harus ditebus dengan hinaan dari seorang rektor semacam Lee Bollinger, walk out para pejabat teras negara besar dunia dan rival-rival politik serta orang-orang yang termakan propaganda media mainstream.
(IRIB/PH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar