"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat [49] : ayat 13)

Kamis, 27 September 2012

Menyingkap Topeng “Sandiwara Global” Dari Podium PBB


Bermula dari Sebuah Podium Bersama

Memecah keheningan sesaat di ruang pertemuan nan megah itu, seorang pria brewok berjalan tegap mengapit sebuah map menuju podium. Ucapan salam dan doa meluncur membuka pidatonya yang menggebu-gebu.


Seperti tahun-tahun sebelumnya, semenjak menjabat sebagai Presiden Iran, sosoknya selalu hadir berdiri di mimbar internasional itu setahun sekali demi mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar. Tidak tergambar sedikitpun perasaan takut, risau, galau apalagi gundah-gulana. Optimisme terlihat jelas di wajahnya.
Dialah Ahmadinejad, yang datang jauh-jauh dari negara Dunia Ketiga ke New York menyampaikan pidato pada pertemuan Sidang Majelis Umum PBB ke-66.

Mantan walikota ibu kota Iran itu tidak peduli ucapannya akan menyinggung banyak orang, bahkan menusuk ‘negara tuan rumah' sekalipun. Bagi banyak orang, lidah pria kelahiran kota kecil nan sunyi di ujung utara padang garam pedalaman Iran itu terlalu tajam. Pria Aradan itu terlalu percaya diri dengan sikapnya, termasuk dalam pidatonya kali ini di hadapan para pemimpin dan perwakilan negara-negara dunia.

Keturunan pandai besi itu tidak peduli meski pertengahan pidatonya, sebagian orang utusan negara-negara besar walk out disertai kecaman kemarahan. Dia juga tidak menghiraukan kegaduhan kecil segelintir orang yang membentuk konsentrasi massa menentang kedatangan dan pidatonya di luar gedung mentereng itu, tidak jauh dari ruang sidang internasional. Baginya, kritik dan kecaman adalah resiko yang harus dihadapi atas pendirian yang dipeluknya begitu erat.

Pidato berbahasa Persia yang terus mengalir deras dari mulut Ahmadinejad hingga akhir yang ditutup salam perdamaian itu menyerukan reformasi manajemen global disertai deretan gugatan mengenai ketidakadilan dunia dari masalah kemiskinan dan kelaparan hingga gugatan peristiwa 11 September, kematian mencurigakan Osama bin Laden dan Holocaust.

Mengulang drama sebelumnya, pidato Ahmadinejad pada Kamis (22/9) di sidang Majelis Umum PBB mengundang kontroversi. Para pemimpin negara-negara Barat yang kebakaran jenggot karena ceramahnya, menggambarkan Presiden Iran itu sebagai penyulut kekacauan dan penebar kebencian. Musuh menganggapnya sebagai ‘Devil' lengkap dengan ekor garpu dan tanduk. Tapi, para pendukung fanatiknya, menyebut Ahmadinejad sebagai ‘Mukjizat Milenium Ketiga', meski itu tidak segemerlap pujian dan sanjungan tahun-tahun sebelumnya.

Pasca pidato Ahmadinejad di PBB, media massa mainstream gegap gempita memberitakan pidato Presiden Iran itu dengan caranya masing-masing. CNN, BBC dan korporasi raksasa media lainnya menayangkan liputan khusus mengenai potongan pidato Ahmadinejad yang mempersoalkan peristiwa 11 September dan Holocaust. Media arus besar ini menyebut pidato Ahmadinejad pada sidang Majelis Umum PBB hanya sekedar ejekan yang mempersoalkan realitas yang sudah diterima sebagai sebuah kebenaran. Dari saluran media mainstream inilah, media massa dari berbagai negara dunia termasuk media Tanah Air menyuguhkan berita mengenai pidato Ahmadinejad.

Media Mainstream dan Ahmadinejad

Selama ini berita dianggap sebagai sebuah refleksi dari realitas. Dengan asumsi tersebut, kita mengkonsumsi pesan-pesan dari berita itu. Namun, arus kritis menilai lain, berita bukan mirror of reality. Kalangan kritis menilai berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang melibatkan pandangan dan ideologi media massa dan jurnalis sendiri.

Stuart Hall dalam bukunya The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in media Studies(1982:64) mengungkapkan, "The media defined, not merely reproduced reality. Definition if reality were sustained and produced trough all those linguistic practice (in the broad sense) by mean of which selective definitions of the were represented. "

Di mata Hall, definisi media tidak mencerminkan reproduksi realitas. Di sini, realitas bukanlah satu set fakta yang dapat dilihat secara sederhana, tetapi hasil dari ideologi maupun pandangan tertentu. Definisi mengenai realitas diproduksi secara terus-menerus melalui praktik bahasa yang selalu bermakna sebagai bentuk memilah dan memilih apa saja yang harus ditampilkan sebagai sebuah respresentasi.

Media global digunakan sebagai penabuh genderang kelompok dominan untuk menyebarkan gagasannya, mengontrol kubu lain dan membentuk opini publik. Riset sosiologi media menyingkap peran besar media mainstream dalam membenamkan ideologinya di berita. Benar kata David Barrat (1994:51-52), ideologi dominan memapankan apa yang dipandang baik dan buruk lewat media.

Pola pemberitaan media massa mainstream mengenai pidato Ahmadinejad dan sosoknya yang digambarkan antogonik membenarkan pandangan kaum kritis. Misalnya, liputan khusus BBC Persia mengenai pidato Ahmadinejad yang ditayangkan sehari setelah Presiden Iran itu berpidato dan ditayangkan kembali berulang-ulang dengan menampilkan potongan klip tentang pidato Ahmadinejad yang disusul sorotan tentang pemilu Iran.

Modus Misrepresentasi

Proses pemilihan dan pemilahan fakta bukan hanya dipahami sebagai bagian dari teknis jurnalistik semata, tetapi menyangkut praktik representasi yang seringkali terjebak pada modus misrepresentasi secara disengaja ataupun tidak. Tulisan ini berupaya mengupas praktik tersebut pada kasus pemberitaan media mainstream mengenai pidato Ahmadinejad dan sosok diri serta negaranya.

Dalam praktik representasi ini, media mainstream secara sengaja telah melakukan empat modus misrepresentasi. Eriyanto (2000:120-130) setidaknya menyebutkan ada empat bentuk misrepresentasi yaitu: ekskomunikasi (excommunication), eksklusi (exclusion), marginalisasi dan delegitimasi. 

1. Ekskomunikasi

Ekskomunikasi berkaitan dengan bagaimana seseorang atau kelompok maupun pemikiran tertentu dikeluarkan dari pembicaraan publik. Dalam kasus pemberitaan media mainstream tentang pidato Ahmadinejad, media mayor menggambarkan sosok presiden Iran itu dengan kacamata Barat, bukan yang lain. Sangat jarang media mayor itu menjelaskan Ahmadinejad dari dirinya sendiri maupun orang-orang dekatnya yang merepresentasikan keadaan dia sebenarnya. Yang terjadi justru komentar-komentar bias para pengamat yang sinis terhadap Ahmadinejad.

Pada kasus pidato Ahmadinejad di Majelis Umum PBB pada Kamis (22/9), media mainstream mengubur pidato Presiden muslim itu dan tidak membiarkan gagasan Ahmadinejad tampil sebagai wacana. Media massa arus besar menggusur gagasan-gagasan Ahmadinejad, dan menggantikannya dengan penggambaran buruk tentang presiden Iran itu.

Bagi media global semacam CNN, BBC, dan VOA, tidak ada yang baru dalam pidato presiden Iran itu, kecuali hanya mengulang-ulang kebencian antisemit dengan menggugat peristiwa Holocaust. Begitu juga dengan peristiwa 11 September, Ahmadinejad digambarkan tidak memperlihatkan sikap simpatik terhadap korban tragedi 11 September dan mendukung pelaku teroris.

Sehari setelah pidato menggemparkan itu, laman Yahoo di halaman depannya menampilkan Judul "Ahmadinejad Menggugat Kematian Osama dan peristiwa 11 September." Tulisan ini memberitakan pidato yang keluar dari mulut sang presiden negara pengecam Barat itu sebagai ocehan absurd dengan serbuan tudingannya yang bertubi-tubi tentang ambiguitas kematian seorang pemimpin milisi teroris dunia, Osama bin Laden. Sebuah pesan yang ingin dibenamkan media Barat ini di benak para pembaca adalah, pidato Ahmadinejad tidak lain dari gugatan omong kosong dari mulut seorang pembuat sensasi publik tentang peristiwa kematian teroris semacam Bin Laden. Demikian juga, tentang tragedi 11 September yang dikaitkan dengan peristiwa "pembantaian" Holocaust yang sudah kadung dianggap benar itu.

BBC Persia menurunkan liputan khusus mengenai pidato Ahmadinejad di Majelis Umum PBB yang diikatkan dengan kerusuhan pasca pemilu presiden Iran yang dimenangi Ahmadinejad. Jaringan televisi parabola yang dibiayai pemerintah Inggris itu berulangkali memutar tayangan kerusuhan pasca pilpres dua tahun lalu, lengkap dengan potongan klip video tentang kematian Neda, dan deretan korban lainnnya.

Tidak hanya itu, BBC Persia juga menayangkan perbedaan jumlah korban dari berbagai kalangan termasuk pejabat teras Iran dari Ketua mahkamah agung hingga presiden dan pemimpin besar revolusi Islam Iran. Di sini, media besar Barat berupaya membenamkan narasi besar bahwa kerusuhan tersebut merupakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap penyelenggaraan pemilu yang dianggap curang itu.

Untuk melengkapi argumentasinya, BBC Persia mewawancarai orang-orang yang dianggap berkompeten terkait pemilu di Iran itu. Akumulasi rangkaian berita itu berujung pada sebuah resultan bahwa Ahmadinejad berpidato di hadapan para pemimpin dunia, di saat dirinya sendiri terpilih melalui pemilu yang klaim BBC curang. Pemirsa BBC dijejali pesan, untuk tidak mempercayai ‘ocehan' seorang presiden di Majelis Umum PBB yang terpilih dalam sebuah "kecelakaan pemilu". 

Praktik yang juga sering dilakukan media mainstream adalah penggambaran mengenai masyarakat Islam. Eriyanto (2000:122) mengungkapkan bagaimana gambaran media Barat yang melihat masyarakat Islam bukan bangsa yang berbudaya, teroris dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Di sini, orang-orang Islam tidak ditampikan dalam pemberitaan. Media massa Barat menampilkan masyarakat muslim dari orang-orang Barat sendiri. Inilah praktik pembenaman Islamophobia yang kerap dilakukan media massa Barat.

2. Eksklusi 

Modus Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau sebuah kelompok maupun pemikiran tertentu dikucilkan dari pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain. Mereka dicap buruk dan bukan bagian dari ‘kita'.

Media mainstream mempraktikkan modus itu terhadap pidato Ahmadinejad dengan membuang isu besar yang diangkatnya. Media mainstream setidaknya melakukan dua prosedur eksklusi.

Pertama, melakukan pembatasan terhadap apa yang bisa dan tidak bisa dibicarakan sebagai wacana. Dalam hal ini, media massa menghapus sejumlah isu yang diangkat Presiden Ahmadinejad seperti urgensi reformasi kepemimpinan global Perserikatan Bangsa-bangsa, meski itu bertujuan mewujudkan keadilan bagi semua. Padahal, pada saat yang sama, sejumlah pemimpin dunia dan pemikir internasional juga menyerukan reformasi kepemimpinan global sebagai sebuah keniscayaan dewasa ini.

Gagasan Ahmadinejad tentang kepemimpinan global tidak ditampilkan karena mengganggu, jika tidak bisa dikatakan mengancam status quo. Media massa global mencoret pembahasan ‘usulan nyentrik' Ahmadinejad mengenai penghapusan hak veto yang saat ini dimiliki segelintir negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, karena mengancam posisi mapan sejumlah negara maju seperti AS. Dengan hak istimewa itu, AS leluasa mengganjal semua kebijakan yang merugikan kepentingannya dan sebaliknya bisa leluasa menggelontorkan semua draf resolusi yang menguntungkan Washington.

Kedua, membuat klasifikasi mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bisa diterima dan sebaliknya. Pada tahap kedua ini, media mainstream membuat klasifikasi sejumlah isu yang diangkat Ahmadinejad seperti Holocaust bahwa peristiwa itu benar dan gugatan Ahmadinejad hanya sebuah penyanggahan yang tidak beralasan.

Petikan perkataan Ahmadinejad mengenai Holocaust yang dikutip media mainstream jarang memuat sebagai sebuah sanggahan wajar seorang Presiden muslim itu terhadap sebuah peristiwa sejarah yang perlu dikaji ulang secara akademis, seperti korban dan mengapa bangsa Palestina yang harus jadi korban bukan Jerman atau negara Eropa lainnya.

Media arus besar menempatkan peristiwa Holocaust secara taken for granted yang tidak boleh digugat bahkan dari jumlah korbannya yang masih simpang siur itu telah diklaim sebagai sebuah kebenaran final yang harus ditelan mentah-mentah oleh khalayak. Begitu juga dengan peristiwa 11 September.

3. Marginalisasi

Marginalisasi adalah modus misrepresentasi dengan meminggirkan pihak lain. Praktik ini mengimplikasikan penggambaran buruk satu pihak terhadap pihak lain. Berbeda dengan sebelumnya, dalam marginalisasi terjadi pemisahan antara kubu dominan dan pihak lain.

Praktik marginalisasi yang seringkali dilakukan oleh media mainstream terhadap pidato Ahmadinejad di sidang Majelis Umum PBB adalah stereotype. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif, (meski umumnya negatif) terhadap orang kelompok atau pemikiran tertentu. (Eriyanto:2000,126-127). Dalam hal ini stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subjektif. Contoh yang paling sering diterapkan media massa adalah stereotypetentang perempuan sebagai sosok yang lemah, tidak mandiri dan tidak rasional.

Dalam kasus liputan media massa terhadap pidato Ahmadinejad dan sosoknya sebagai, media mayor begitu sering menggambarkan presiden Iran itu dengan streotipe tertentu yang bertujuan untuk menyudutkan. Misalnya, sebutan presiden ultraradikal, fundamentalis, anti-HAM, tidak demokratis, kolot, terbelakang, tidak moderat, diktator dan deretan label buruk lainnya yang disematkan pada Ahmadinejad. Selain itu media massa Barat juga membenamkan stereotipe tertentu terhadap Iran dengan segudang sebutan yang memarjinalkan negara itu. Misalnya, negara tertutup, anti-demokrasi, anti-HAM, pengusung perang, penyulut kemarahan, tukang bikin onar; negara yang sulit berdiplomasi dan pemilik senjata nuklir.

4. Delegitimasi

Delegitimasi berhubungan bagaimana seseorang atau sebuah kelompok dianggap tidak absah. Praktik delegitimasi menekankan bahwa hanya kelompok tertentu yang benar sedangkan kelompok yang lain tidak benar, tidak layak, dan tidak absah. Setidaknya terdapat dua prosedur delegitimasi. Pertama, umumnya dilakukan dengan otoritas dari seseorang atau sebuah kelompok, apakah itu intelektual, ahli tertentu atau pejabat. Kedua, berkaitan dengan sebuah pernyataan yang dianggap absah atau tidak, dan pendukung keabsahannya.

Pada kasus media mainstream dan pidato Ahmadinejad, pemberitaan yang dilakukan media arus besar melakukan delegitimasi dengan menganggap usulan yang dikemukakan Ahmadinejad mengenai pembentukan tim investigasi independen kasus serangan 11 September 2001 tidak memiliki legitimasi, karena diungkapkan oleh seorang presiden muslim dari Dunia Ketiga.

Media mainstream membenarkan sebuah pesan besar, hanya negara besar anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti AS-lah yang berhak mengajukan usulan yang melibatkan isu global dan negara-negara dunia. Pada saat yang sama, dengan mudah AS mengusulkan draf resolusi sanksi PBB terhadap Iran dan negara lainnya yang dianggap ‘menyimpang' dan harus diluruskan seperti Suriah dan Korea Utara, meski itu harus berakhir dengan invasi militer.

Sejatinya, media massa Barat harus mendengarkan seruan ekonom Stiglitz dalam "Globalization and discontents", "Pierre Bourdie benar, politisi (juga media massa) seharusnya bersikap seperti para pengajar dan peneliti yang mengkaji masalah secara objektif. Namun amat disayangkan kebanyakan para politisi justru melayani kepentingan ideologis para pemilik kekuasaan."

Empat tahun lalu, Ahmadinejad menegaskan seruan ekonom Amerika yang mengulang ungkapan Filosof Prancis itu ketika berpidato di Universitas Columbia pada 27 September 2007 lalu, dan terus dipegangnya erat-erat. Seruan Presiden muslim di podium PBB itu adalah pekikan protes seorang dosen sebuah perguruan tinggi teknik di Teheran mengenai urgensi menyingkap topeng sandiwara sepak terjang negara arogan dunia. Meski itu harus ditebus dengan hinaan dari seorang rektor semacam Lee Bollinger, walk out para pejabat teras negara besar dunia dan rival-rival politik serta orang-orang yang termakan propaganda media mainstream.

(IRIB/PH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar