"Mengapa di negara yang berlandaskan Pancasila masih terjadi berbagai tindak kekerasan dan ketidakadilan?"
TIAP 1 Oktober, bangsa
Tapi mengapa di negara yang berlandaskan Pancasila masih terjadi berbagai tindak kekerasan? Praktik korupsi merebak, ketidakadilan merajalela, tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, atau antar wargakampung meningkat. Belum lagi anggota masyarakat mudah diadu domba, muncul pengingkaran terhadap Ketuhanan dan nilai-nilai agama, dan sebagainya?
Tatkala orang larut dalam euforia kesaktian Pancasila, Driyarkara mengkritisi Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara (Simposium ’’Kebangkitan Angkatan 1966’’ di UI, pada 6 Mei 1966). Sikap filsuf itu jelas, ideologi komunisme tak dapat berdampingan dengan Pancasila. Eksperimen ideologis Nasakom adalah absurd. Pancasila tidak bertuah tetapi prinsip dinamis di dalamnya harus selalu diperjuangkan.
Menurut Driyarkara, terjadi deviasi Pancasila sebagai dasar negara, baik dalam kategori tematis maupun operatif. Deviasi dalam kategori tematis berbentuk pengurangan, penambahan, substitusi, dan kontradiksi substansi. Deviasi dalam kategori operatif berwujud kontradiksi terhadap sikap-sikap permanen yang dituntut dasar negara tersebut.
Padahal Pancasila adalah cita-cita ideal yang harus tertanam dalam lubuk sanubari bangsa kita, yang menentukan perbuatan keseharian. Ia tidak boleh dihayati dan diamalkan secara dangkal. Artinya ketika sila ketuhanan diimplementasikan secara berlebih, sila-sila lain justru dilanggar. Tanpa perikemanusiaan, persatuan, dan keadilan; kekayaan sumber daya alam kita tidak menjamin kesejahteraan bangsa.
Pancasila tidak untuk disanjung-sanjung tetapi dioperasikan sebagai ideologi bangsa dan negara. Kita baru berbangsa, bangsa
Di tengah euforia reformasi dan globalisasi saat ini, banyak orang mulai kehilangan pegangan nilai-nilai kebangsaan. Era reformasi seakan menjadi ujian kedua kesaktian Pancasila. Hal itu kemungkinan bisa berlangsung secara terus-menerus. Realitasnya hingga saat ini Pancasila sebagai dasar negara memberikan bukti bisa menjadi media pemersatu.
Ideologi itu mampu menjadi payung kehidupan bersama warga negara, atas hak dan kewajiban yang sama dari golongan dengan agama dan budaya berbeda. Karenanya, Pancasila adalah dasar hidup bersama dalam negara kita. Konsekuensinya, tiap usaha mengubah, mengganti, atau menggerogoti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, selalu melahirkan malapetaka bagi bangsa.
Napas Kehidupan
Sebagai dasar negara, Pancasila harus menjadi nada dasar dan jiwa dari seluruh ketentuan perundangan di negeri ini. Hukum nasional yang dibangun di
Tanpa keberanian menempatkan kembali Pancasila, memandang nilai-nilai yang berseberangan dengannya sebagai kemungkaran, kita cemas bahwa keagungan dan kewibawaan dasar negara itu pelan-pelan akan sirna. Pada era reformasi ini, Pancasila harus terus digemakan agar kesatuan dan persatuan bangsa terpelihara. Sudah saatnya kita kembali mengingatkan semangat Pancasila untuk menjadi dasar kejuangan hidup bersama.
Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober harus menjadi momentum mereaktualisasi, merevitalisasi, mereinterpretasi, merejuvenasi, merestorasi, dan mengoperasikannya. Hal itu supaya Pancasila mampu mewujudkan kebhinnekaan, sekaligus dapat menjawab perubahan global. Keteladanan mewujudkan nilai-nilai Pancasila harus dilaksanakan oleh semua warga negara sehingga ideologi itu tidak terpasung menjadi slogan, jargon, label politik, tapi benar-benar menjadi napas kehidupan.
Momentum reformasi pada era global harus bisa menjadi daya dorong agar kesaktian Pancasila tetap teruji. Dengan meresapi makna yang terkandung dalam setiap acara peringatan hari kesaktian, hendaknya segenap elemen bangsa mampu memantapkan tekad dan semangat, serta menghayati cita-cita perjuangan para pahlawan, yaitu tetap setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik
— Sutrisno, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
(suaramerdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar